Dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, bukan berarti kehidupan seorang Dato Sri Tahir berjalan mulus sejak lahir. Bukan berasal dari keluarga mampu, pendiri Mayapada Group ini dulu hanyalah seorang anak penyewa becak. Di mana, ia dan keluarga menggantungkan hidup dari uang setoran becak semata.
Lahir dari keluarga kurang mampu, tidak membuat Dato Sri Tahir putus asa. Berkat perjuangannya dalam meniti karier, Dato Sri Tahir kini tinggal menikmati hasil. Dato Sri Tahir yang dulunya melarat, seketika berubah menjadi seorang konglomerat.
Dato Sri Tahir begitu giat dalam bekerja. Menurutnya, seseorang harus bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya, bukan hanya karena hobi semata.
Dalam sesi Kuliah Umum di Universitas Petra Kristen, beberapa waktu lalu, Dato Sri Tahir sempat berbagi kisah mengenai putrinya yang semula ingin bekerja sesuai hobinya, kini justru banting setir menjadi penerus usaha orang tuanya.
“Saya punya putri, anak kedua. Dia lulusan Berkeley dan UAC. Suatu hari, (setelah) dia lulus, Saya panggil dia. Saya bilang, 'Grace, kamu harus kerja di perusahaan Papah', dia bilang, 'Saya gak mau. Saya punya hobi, saya ingin menjadi sutradara',” cerita Dato Sri Tahir seperti dikutip, Selasa (17/4/2024).
“Waktu sekolah di Berkeley, Saya (merasa) aneh, semua perfilman, semua penyanyi star dia tahu. Jadi saya terus pikir, anak ini mungkin malam tidak tidur karena dia terus mempelajari (hal itu). Begitu dia lulus, dia kasih tahu punya hobi lain. Saya bilang, 'No! you have to work with me'. Saya tidak terlalu senang, saya (minta) untuk ikut, karena ini papanya mau gak mau (dia) ikut,” sambungnya.
Baca Juga: Super Disiplin, Rutinitas Orang Terkaya RI Dato Sri Tahir yang Patut Ditiru!
Baca Juga: Filosofis Kehidupan Dato Sri Tahir, Orang Terkaya di Indonesia: Hidup Seperti Kontainer
Grace Tahir akhirnya mengikuti keinginan sang ayah untuk bekerja di perusahaan keluarga. Grace yang awalnya hanya ingin bekerja sesuai hobinya menjadi seorang sutradara, seketika berubah setelah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Menurut Dato Sri Tahir, putrinya berubah karena merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan menginginkan kehidupan terbaik untuk anak-anaknya.
“Suatu hari dia menikah dan punya anak, dia mengurusi bagian tertentu di usaha saya. Lalu saya iseng dan telepon, 'Gimana kerjaannya itu?', dan dia bilang bagus. Saya tanya, 'kamu perlu bantuan papah gak?', dia bilang tidak perlu, 'don't touch. Ini usaha saya'. Kenapa dia berubah? Karena dia mulai merasa ada sebuah tanggung jawab di pundak, dia adalah ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami. Dia punya tanggung jawab, dia harus mencari uang, harus built-up kariernya, supaya anak-anaknya bisa memulai kehidupan yang lebih baik,” tutur Dato Sri Tahir.
Dato Sri Tahir merasa seseorang akan merasa memiliki tanggung jawab ketika mereka naik satu tingkat. Sebab itu, menurutnya, bekerja harus berdasarkan tanggung jawab, bukan hanya hobi semata.
“Kita hidup ini adalah sebuah tanggung jawab, bukan hobi. Kalau hobi, saya tidak mau jualan kue bulan, saya tidak mau keliling. Saya punya hobi jadi orang kaya, orang terkenal, menjadi pejabat tinggi, dan lain-lain, tetapi tanggung jawab tetap di pundak saya. Jadi saya harus kerja bukan dasar hobi, bukan dari kemauan hawa nafsu, tetapi saya bekerja berdasarkan tanggung jawab,” tukasnya.