Perbandingan perilaku antara Indonesia dengan negara lain dalam menghargai rekan disabilitas menjadi hal yang sering dipertanyakan akhir-akhir ini. Menilik lebih lanjut, inklusi disabilitas menjadi isu global yang mendapat perhatian besar dari berbagai negara, terutama dalam konteks pendidikan, pekerjaan, dan akses terhadap layanan sosial.
Seperti yang dirasakan oleh Wuri Handayani, seorang akademisi dan dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), memiliki perjalanan hidup yang penuh tantangan terkait dengan disabilitasnya.
Dimulai dari umur 21 tahun, Wuri telah berjuang dengan disabilitas fisik yang mempengaruhi kegiatannya dalam menempuh pendidikan hingga mencari pekerjaan.
Baca Juga: Generali Indonesia Dukung Inklusivitas dengan Berdayakan Difabel sebagai Barista
“Saya disabilitas tidak mulai dari kecil, saya disabilitas mulai dari umur 21. Waktu itu saya mengalami kecelakaan karena naik gunung dan waktu itu saya mahasiswa semester tiga di fakultas farmasi di Surabaya, karena kecelakaan itu saya tidak melanjutkan di farmasi dan saya dipaksa untuk pindah ke fakultas lain yang alasan tidak ada laboratoriumnya, dengan alasan tidak ada fasilitas,” ungkap Wuri dalam video yang dikutip Olenka pada Selasa (17/12/2024).
Di Indonesia, inklusi disabilitas masih dalam tahap yang kurang diperhatikan. Meskipun sudah ada berbagai peraturan yang mendukung hak-hak penyandang disabilitas. Namun, Wuri mengamati bahwa meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal kebijakan inklusif, pelaksanaannya masih menghadapi banyak kendala, terutama dalam hal perubahan pola pikir masyarakat dan penyediaan fasilitas yang memadai.
“Tapi saya harus realistis bahwa lingkungan yang tidak mendukung itu akan menghambat saya nantinya dalam menyelesaikan, sehingga saya pun memutuskan untuk pindah ke departement akuntansi di fakultas ekonomika dan bisnis yang tidak ada praktikumnya,” lanjutnya lagi.
Berbeda dengan Indonesia, United Kingdom (UK) telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kebijakan inklusi disabilitas yang relatif lebih matang. Dalam perjalanannya, Wuri menemukan perbedaan yang mencolok antara pengalaman hidupnya di Indonesia dan pengalamannya di luar negeri, terutama ketika ia melanjutkan studi di United Kingdom (UK).
“Nah kondisi ini masih banyak lagi diskriminasi yang saya alami, penolakan sebagai pegawai negeri, penolakan sebagai pekerja, itu juga saya alami. Nah tetapi ketika saya mendaftar di kampus UK. Dan saya di class disabilitiy. Maka justru mereka responsif dengan memberikan list apa saja yang diperlukan untuk memperlancar studi saya, baik secara akademik maupun non akademik. Non akademik misalnya dari housing, rumah kebutuhannya seperti apa, kemudian perlukah pendamping sehari-hari, lalu untuk yang akademik itu juga ditanyakan listnya itu banyak sekali. Nah ini sangat berbeda,” jelas Wuri.
Di UK, sistem pendidikan dan sosial lebih inklusif, dengan berbagai fasilitas yang mendukung aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Universitas tempat Wuri melanjutkan studi sudah memiliki fasilitas lengkap untuk memudahkan mobilitas.
Selain itu, Wuri juga merasakan adanya sistem dukungan yang kuat, dengan adanya layanan pendamping dan fasilitas yang disediakan untuk mahasiswa penyandang disabilitas. Ini memberinya rasa aman dan nyaman untuk belajar tanpa merasa terhambat oleh keterbatasan fisiknya.
Baca Juga: Komitmen BCA Digital Perkuat Inklusi Keuangan Digital di Indonesia
“Ketika dua kondisi itu sehingga 2008 saya pulang ke Indonesia, itu satu hal yang harus saya bawa adalah bahwa unit semacam ini di UK, di setiap kampus itu ada yang namanya disability service unit, dan merekalah yang memberikan support kepada mahasiswa disabilitas. Kebetulan pada waktu itu saya ada 5 orang disabilitas, tiga menggunakan kursi roda, dua blind, bahkan satu lagi yang tuli, dimana kita semua itu dalam satu kelas. Dan itu tidak pernah saya ketahui sebelumnya bahwa disabilitas dengan berbagai ragam itu bisa menjadi satu dalam satu ruang yang sama,” ujarnya.
Menurut Wuri, UK memiliki regulasi yang lebih jelas dan terstruktur, yang sudah ada sejak lama dan telah diperkuat dengan undang-undang yang mengatur secara rinci hak-hak penyandang disabilitas di berbagai sektor.
Wuri kembali menambahkan, “Tapi dengan kebutuhan yang berbeda, nah jadi ide itulah yang kemudian harus saya bawa ke Indonesia agar adik-adik disabilitas, anak-anak disabilitas di Indonesia tidak mengalami hal yang saya alami. Saya mengalami banyak hal, banyak diskriminasi dan penolakan seperti itu. Nah, itulah yang kemudian ketika saya melanjutkan S3 di UK, saya mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi.”
Baca Juga: Dukung Ekonomi Inklusif, Bangun Bangsa Luncurkan Empower Academy, Seperti Apa?
Dalam kesempatannya, Wuri memaparkan, di setiap Universitas, UK selalu menyediakan lebih banyak kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam dunia kerja dan ekonomi melalui kebijakan anti-diskriminasi dan program dukungan khusus.
“Karena kebetulan saya pindah beberapa kampus, mengikuti supervisor, jadi punya pengalaman yang berbeda-beda dari Bradford University, dan Harvard University, yang semua memberikan akses yang sama kepada disabilitas dan mereka memiliki unit-unit layanan disabilitas,” ucapnya.
Melalui pengalaman Wuri, dapat menggambarkan bagaimana kebijakan dan sikap sosial sangat mempengaruhi kehidupan penyandang disabilitas. Di Indonesia, meskipun ada kemajuan dalam bidang infrastruktur dan tata kelola, namun masih sering mengecualikan teman-teman disabilitas yang memiliki kemampuan lebih untuk hadir ditengah masyarakat.
Sementara itu, di UK, ada sistem yang lebih inklusif yang memberikan kesempatan yang lebih besar bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Wuri, dengan segala pengalamannya, menjadi contoh nyata pentingnya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, di mana semua orang, terlepas dari kondisi fisiknya, dapat berpartisipasi dan dihargai.