Saat anak didiagnosa penyakit serius, orang tua dan keluarga menjadi yang paling rapuh dan terpukul mendengar kabar tersebut. Namun, kehadiran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendukung dan menemani perjalanan si anak melawan penyakit serius yang dideritanya.
Memang tak mudah menerima takdir, tetapi dukungan emosional dari orang tua, saudara, dan anggota keluarga lainnya dapat memberikan kekuatan tambahan bagi anak, membantu mereka merasa tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Keluarga menjadi sumber inspirasi dan keberanian, mengingatkan si anak bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan melawan penyakit yang mengancam, tetapi memiliki segenap cinta dan dukungan dari orang-orang terkasih di sekelilingnya.
Baca Juga: Make-A-Wish Indonesia Wujudkan Harapan Anak-anak dengan Penyakit Kritis: Kembalikan Masa yang Hilang
Lantas, bagaimana keluarga menguatkan diri mereka setelah mengetahui diagnosa penyakit serius yang diderita sang buah hati?
dr. Reisa Broto Asmoro tak memungkiri setiap peristiwa yang dialami seseorang tenti akan mempengaruhi semua orang di sekitarnya. Begitupun saat mendengar diagnosa penyakit serius yang diderita anak mereka. Dalam hal ini, kata dr. Reisa, perhatian kepada seluruh anggota juga diperlukan, bukan hanya pada anak yang sakit semata.
“Kita sering sekali menyaksikan pengalaman orang-orang di mana ternyata kakak-adiknya, orang yang cerita (keluarga), hidupnya juga jauh lebih berat. Jadi, memang penguatan ini atau dukungan untuk seluruh keluarga sangatlah penting. Apapun bentuk bantuan yang kita berikan—baik doa, bantuan praktis, atau dukungan emosional—pasti akan bermanfaat,” ujar dr. Reisa dalam agenda press conference peluncuran Make-A-Wish Indonesia di kawasan SCBD Jakarta, Rabu (2/10/2024).
Dokter Spesialis Anak, Konsultan Emergency dan Rawat Intensif Anak, dr. Yogi Prawira SpA (K), berbagi kisahnya ketika anaknya harus dirawat di ICU. Satu hal penting yang dipelajari dari pengalamannya itu ibarat sedang ada turbulensi di dalam pesawat dan mengharuskan menggunakan masker oksigen.
Diungkap dr. Yogi, dalam kondisi tersebut yang harus pertama dipasang masker oksigen adalah diri sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Begitupun ketika anak didiagnosa suatu penyakit, orang tua perlu menolong diri sendiri terlebih dahulu sebelum bisa merawat anak dengan baik.
“Jangan terlalu lama berada di fase penolakan, bertanyalah dan cari informasi sampai kita memahami kondisi anak kita sepenuhnya. Ketika kita sudah lebih tenang dan berdamai dengan diri sendiri, barulah kita bisa fokus merawat anak,” tutur dr. Yogi.
Baca Juga: Gagal Ginjal Masuk 10 Besar Penyakit Katastrofe di Indonesia
Sebagai konsultan ICU, dr. Yogi paham betul betapa sulitnya mempercayakan perawatan anak kepada orang lain, tetapi sebagai orang tua dan keluarga harus mempercayakan anak kepada tim medis yang merawatnya. Selama komunikasi berjalan baik dan merasa yakin, orang tua dan keluarga perlu melepaskan sedikit kendali dan mempercayai profesional yang menangani perawatan.
Jadikan anak sebagai prioritas, dan jika mereka cukup dewasa, libatkan mereka dalam diskusi tentang perawatan dan keputusan medis. Ini dikenal dengan istilah "informed consent" untuk orang tua, dan jika anak sudah bisa terlibat, ada istilah "child consent," yaitu persetujuan dari anak itu sendiri.
Sama halnya dari sisi psikologis. Psikolog Perkembangan Anak dan Kesehatan Mental, Ajeng Raviando, Psi menekankan, penting untuk diikat bahwa tidak hanya anak yang butuh dukungan, seluruh keluarga juga memerlukan perhatian.
“Proses penyembuhan tidak hanya tentang aspek medis, tetapi juga tentang kesehatan emosional dan psikologis seluruh keluarga. Jangan lupakan diri sendiri dalam proses ini. Kita perlu sehat secara mental dan fisik agar bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan anak-anak kita dalam menghadapi tantangan yang ada,” imbuh dr. Ajeng.