Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki harapan besar terhadap pemanfaatan biodiesel hingga B100 di Indonesia. Program tersebut pun kabarnya akan direalisasikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan harapan itu.
"BBM kita akan ramah lingkungan, tidak akan ada polusi dan terbarukan. Bukan kita ambil minyak dari tanah lalu habis, tidak. Selama ada matahari dan ada hujan pengairan, tiap tahun kita bisa panen solar. Banyak negara yang iri sama Indonesia. Kita nanti akan green energy dan swasembada energi," beber Prabowo dengan optimis seperti yang dikutip Olenka pada Jumat (09/08/2024).
Namun, peningkatan pemanfaatan biodiesel menjadi B50 hingga B100 itu harus direncanakan dengan cermat karena memerlukan banyak pertimbangan. Mulai dari mempertimbangkan pasokan sawit, hingga memperhatikan dampak yang akan muncul baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini disampaikan oleh ketua umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), DR. Ir. Darmono Taniwiryo, M.Sc.
Baca Juga: Rencana Program B50 Prabowo-Gibran, Penuh Tantangan atau Potensi Keberhasilan?
"Dalam penggunaan energi terbarukan terutama dari sawit, kita harus merencanakannya secara cermat bagaimana ke depannya. Sektor pangan dan sektor energi dua-duanya harus terpenuhi, jangan sampai nanti kita terlalu menggunakan sawit untuk energi, tetapi pangannya menjadi kurang dan terganggu," ungkapnya kepada redaksi Olenka beberapa waktu lalu.
Pemerintah harus memikirkan hal terburuk apabila pasokan di masa depan tidak sebaik yang diharapkan. Tentu kondisi ini akan menjadi permasalahan ke depannya.
"Jadi, peningkatan dari B35 atau B30 ke B40 kemudian ke B50 perlu mempertimbangkan pasokan dan juga mempertimbangkan kebijakan pemerintah di energi terbarukan lainnya. Misalnya, kan ada mobil listrik, nah itu bagaimana nanti? Pemerintah harus melakukannya dengan bijaksana dan mempertimbangkan dengan beberapa kondisi tadi," terang Darmono.
Baca Juga: Mendorong Program Biodiesel Jadi Akselerator Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani
Selain memperhatikan dampak terhadap pasokan dan kebijakan energi terbarukan lainnya, Darmono juga mengingatkan pemerintah bahwa keputusan mengembangkan biodiesel dapat mengerek harga sawit dunia.
"Berapapun kenaikan persentase penggunaan biodiesel akan meningkatkan harga dunia. Pasalnya, akan lebih banyak digunakan dalam negeri. Pasokan untuk penggunaan luar negeri nantinya akan terbatas. Kalau terbatas, otomatis harganya akan naik," jelasnya.
Darmono melanjutkan bahwa hal ini pun dapat menimbulkan permasalahan dagang internasional, "Sebab Indonesia tidak hanya mengekspor saja, namun juga mengimpor produk dari negara tujuan pengekspor sawit ini," katanya.
Ia pun mengungkapkan pemerintah saat ini dapat berfokus pada peningkatan produktivitas sawit. Faktanya, di lapangan sekarang komposisi perkebunan rakyat sekitar 41% memiliki produktivitas yang rendah. Hal ini disebabkan oleh penanaman bibit yang tidak berasal dari legitimate seeds, sehingga saat ini sulit untuk mendongkraknya.
Baca Juga: Program Mandatori Biodiesel Untungkan Masyarakat Indonesia
"Kita harus mengupayakan dengan keras agar program replanting atau peremajaan sawit rakyat ini berhasil," tutur Darmono.
Melihat kondisi itu, Darmono berharap hilirisasi yang digaung-gaungkan oleh pemerintah tidak hanya berfokus pada produk-produk dari minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) saja. Tetapi, produk-produk dari bahan lignoselulosa (batang, pelepah, daun, tandan kosong) itu juga harus ditingkatkan.
"Karena dari sana juga bisa mendapatkan nilai produk-produk yang tinggi yang didapatkan dari turunan itu. Jadi, hilirisasi harus diperkuat terhadap pemilik lahan 41% yang saat ini memang terkendala karena mereka (petani) tidak memiliki CPO," harapnya.