Pemerintah memiliki kewajiban dalam pemenuhan hak atas pangan dan gizi untuk masyarakatnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan akses terhadap pangan yang cukup, layak, dan bergizi bagi seluruh warga negara Indonesia, terutama dalam konteks tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks.
Ketahanan pangan bukan hanya sekadar ketersediaan makanan, tetapi juga mencakup aksesibilitas, kualitas, dan keberlanjutan dari pangan yang masyarakat konsumsi. Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia telah menyaksikan berbagai masalah yang berkaitan dengan sistem pangan nasional, termasuk konversi lahan pertanian, ketergantungan pada impor, serta meningkatnya angka malnutrisi.
Melihat urgensi ini, FIAN Indonesia selaku organisasi masyarakat sipil yang mendorong Hak Atas Pangan dan Gizi (HAGP) mengadakan diskusi terbuka melalui virtual zoom pada Selasa (15/10/2024). Diskusi tersebut mengangkat tema Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi.
Baca Juga: Mentan: Ketahanan Pangan Identik dengan Ketahanan Negara
Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai ketahanan pangan. Seperti yang disampaikan salah satu narasumber, yakni Ahmad Arif, jurnalis dari Kompas TV yang menggarisbawahi terkait konsep yang dianut oleh Indonesia dalam menjaga ketahanan pangan.
"Indonesia masih menganut konsep ketahanan pangan, namun posisinya dalam Global Food Security (GFS) edisi 2022 berada di peringkat ke-63 dari 113 negara," terangnya kepada Olenka pada Selasa (15/10/2024).
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian yang terjadi secara masif telah mengurangi luas lahan sawah nasional hingga 7,5 juta hektar pada 2019.
Selain itu, distribusi pangan yang tidak merata dan teknologi yang lamban dalam mengelola hasil pertanian memperburuk kondisi aksesibilitas pangan. Ahmad menyoroti program food estate sebagai salah satu upaya pemerintah, tetapi implementasinya kerap menghadapi hambatan, seperti yang terjadi dalam proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang justru mengurangi akses masyarakat lokal terhadap pangan tradisional.
Baca Juga: Pupuk Indonesia Jaga Ketahanan Pangan
Tak hanya itu, datang dari pandangan Ade Cholic Mutaqim, anggota FIAN Indonesia sebagai salah satu narasumber menjabarkan tentang kerangka hukum terkait hak atas pangan. "Hak atas pangan diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, khususnya pada Pasal 25 yang menekankan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang layak," ujarnya.
Menurutnya, hak atas pangan di Indonesia masih bergantung pada konsep food security, yang fokus pada penyediaan pangan, namun belum mencakup aspek keadilan dan pemerataan.
Di lain sisi, dilihat dari segi kandungan gizinya pun masih terdapat banyak kekurangan. Semestinya negara memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan yang layak.
“Negara harus membuat peta jalan untuk merealisasikan hak atas pangan dan gizi bagi seluruh warga negara. Hak ini mencakup ketersediaan pangan yang berkualitas dan bebas dari diskriminasi dalam kebijakan atau proyek pemerintah," jelas Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa masyarakat perlu menanamkan dan mempertahankan bersama bahwa hak atas peran dan gizi itu adalah hak mereka untuk bebas dari kelaparan.
Baca Juga: Membedah Program Food Estate di Tanah Papua
"Kalau warga indonesia semuanya sudah bisa makan, maka negara telah berhasil memenuhi angkatan pangan dan gizinya," bebernya.
Pada dasarnya, tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan dan gizi tidak hanya mencakup penyediaan makanan, tetapi juga memastikan distribusi yang adil, keberlanjutan sumber pangan, serta perlindungan hak-hak masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan dan pesisir. Dengan reformasi kebijakan yang tepat, Indonesia diharapkan dapat mencapai ketahanan pangan yang lebih baik dan menjamin hak pangan bagi seluruh warganya.