Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar 7,4% pada paruh pertama 2024, sebagaimana tercatat dalam laporan EY Global IPO Trends Q2 2024. Penurunan in disebabkan oleh aktivitas investor asing dengan penjualan bersih di pasar mencapai US$800 juta. Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap kondisi pasar saat ini, seperti depresiasi rupiah dan pendekatan investor yang bersifat "tunggu dan lihat" terhadap penunjukan kabinet baru serta arah kebijakan selanjutnya dari presiden terpilih Indonesia.

Berbeda dengan pelemahan pasar yang lebih luas, perusahaan-perusahaan baru yang terdaftar di BEI menunjukkan kinerja positif selama paruh pertama 2024 dengan hasil IPO YTD saat ini sebesar 12,5%, menyoroti kuatnya minat investor terhadap pendatang baru ini. Khususnya, perusahaan seperti PT Satu Visi Putra Tbk, PT Multikarya Asia Pasifik Raya Tbk, PT Remala Abadi Tbk, PT Homeco Victoria Makmur Tbk, dan PT Manggung Polahraya Tbk muncul sebagai perusahaan teratas yang baru-baru ini terdaftar.

Baca Juga: Outlook Investasi Global Semester Kedua 2024: Beradaptasi dengan Perubahan Arah Angin

"Indonesia telah menjadi pasar IPO terkemuka di ASEAN pada paruh pertama 2024 dalam hal jumlah perusahaan yang terdaftar, menunjukkan ketahanan relatif dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Hingga paruh pertama 2024, di Bursa Efek Indonesia sudah ada 25 perusahaan yang berhasil melakukan IPO," jelas Reuben Tirtawidjaja, EY Indonesia Strategy and Transactions Partner, dikutip Rabu (17/7/2024).

Kawasan ASEAN yang lebih luas, jelasnya, mengalami moderasi dalam aktivitas IPO yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya tekanan inflasi yang dapat menyebabkan kenaikan suku bunga. Tak hanya di pasar ASEAN, lanskap IPO global juga mengalami penurunan sebesar 12% yoy dalam jumlah perusahaan yang melakukan IPO.

Selama paruh pertama tahun 2024, sektor material telah menjadi pendorong utama aktivitas IPO di Indonesia. Sektor ini menghasilkan 7 IPO yang secara kolektif mengumpulkan modal sebesar US$119,3 juta dengan kontribusi tertinggi dari PT Ancara Logistics Indonesia Tbk dan PT Adhi Kartiko Pratama Tbk yang mengumpulkan total dana sekitar US$90 juta.

Sektor energi merupakan kontributor terbesar kedua terhadap aktivitas IPO di Indonesia. Sektor ini menghasilkan 4 IPO dengan total peningkatan modal sebesar US$31,4 juta. PT Citra Nusantara Gemilang Tbk, PT Multi Hanna Kreasindo Tbk, dan PT Atlantis Subsea Indonesia Tbk menjadi kontributor terbesar dengan mengumpulkan total dana sekitar US$27 juta.

Sektor ritel juga merupakan pendorong utama aktivitas IPO di Indonesia. Hanya dengan 2 IPO, sektor ritel mengumpulkan modal sebesar US$29,4 juta dengan PT Terang Dunia Internusa Tbk (UNTD) mengumpulkan dana terbesar. Secara keseluruhan, pasar IPO di Indonesia tetap tangguh meskipun terdapat tantangan pasar yang terus berlanjut, dan BEI telah mengumumkan bahwa mereka memperkirakan total 60-70 pencatatan baru pada tahun 2024.

Prospek Pasar IPO Paruh Kedua 2024

Menurut laporan, paruh kedua tahun 2024 akan dipengaruhi oleh faktor-faktor utama yang memengaruhi pasar IPO global–jadwal penurunan suku bunga bank sentral, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan siklus pemilu.

Hasil laporan memperkirakan inflasi global akan terus melambat di tengah beragamnya kondisi perekonomian dan tingkat inflasi regional. Siklus pelonggaran bank sentral kemungkinan akan terputus karena beberapa negara Eropa dan negara berkembang memimpin, menjelang kebijakan Federal Reserve (Fed) Amerika Serikat.

Baca Juga: Kantongi Dana Tambahan, Xurya Raup Investasi Rp1,5 Triliun guna Kembangkan PLTS Atap di Indonesia

Ketika bank sentral, termasuk Fed, mengubah kebijakannya dan mulai menurunkan suku bunga, investor diperkirakan akan memindahkan modalnya untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi. Pergeseran ini diperkirakan akan meningkatkan likuiditas di pasar ekuitas, pasar negara berkembang, dan sektor yang berorientasi pada pertumbuhan seperti teknologi, kesehatan, dan ilmu sains.

George Chan, EY Global IPO Leader, mengatakan, "Ketegangan geopolitik dapat memaksa perusahaan untuk menjajaki pasar IPO alternatif, menghindari kawasan berisiko tinggi, dan mencari peraturan yang lebih menguntungkan. Pergeseran ini berpotensi mengarah pada munculnya pusat keuangan baru dan mengubah lanskap pasar IPO. Sementara itu, ketidakpastian pemilu juga berdampak pada waktu IPO. Beberapa perusahaan mungkin menunda penawaran untuk menghindari dampak hasil pemilu yang tidak dapat diprediksi terhadap stabilitas pasar dan kepercayaan investor, dan lebih memilih untuk menunggu kondisi pascapemilu yang lebih stabil."