Laut China Selatan (LCS) merupakan kawasan di Asia Pasifik yang rawan sengketa dan berpotensi memicu konflik sehingga mengancam kedaulatan Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengatakan Indonesia memiliki kepentingan besar untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan. Ia mengingatkan, konflik di LCS akan berdampak secara global dan menjadi ancaman langsung pada keamanan dan kepentingan nasional di kawasan.
"Laut China Selatan berada di halaman depan Indonesia dan tentunya kita tidak ingin melihat ada konflik atau bahkan terjadi perang terbuka di kawasan tersebut. Instabilitas dan konflik di Laut China Selatan akan berdampak ke kedaulatan Indonesia," katanya dalam webinar Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan sebagaimana dikutip di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Baca Juga: Kapal Asing Mondar-mandir di Laut RI, Prabowo Janji Perkuat Angkatan Laut
Sudah sejak lama LCS menjadi sumber sengketa teritorial berupa klaim tumpang tindih beberapa negara di kawasan. Pada tahun 1947 China secara sepihak mengklaim wilayah tersebut dan menandai dengan sembilan garis putus-putus (the nine-dash line).
Klaim China tersebut didasarkan pada traditional fishing ground yang tidak sesuai dengan norma hukum internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Klaim tersebut pun memicu protes beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ada beberapa alasan kawasan penting bernilai ekonomis, politis, dan strategis ini menjadi sumber ketegangan negara-negara di kawasan. Pertama, perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi ini sangat strategis karena menjadi jalur pelayaran paling singkat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Jalur ini menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Kedua, LCS memiliki nilai ekonomi sangat tinggi karena menyimpan potensi sumber daya alam berupa cadangan gas alam dan minyak bumi. Selain itu, di sektor perikanan dan lingkungan LCS berperan penting dalam keanekaragaman hayati maritim dan menyimpan cadangan ikan dunia.
Ketiga, LCS memiliki nilai politis karena menjadi ajang pertempuran bagi negara adidaya Amerika Serikat dengan China. AS berupaya keras untuk membendung dominasi China di LCS melalui pendekatan militer seperti menghadirkan kapal perang hingga melaksanakan latihan perang bersama dengan Filipina. Peningkatan ketegangan dan tensi militer di LCS berpotensi besar menjadi konflik perang terbuka yang melibatkan AS, China, dan negara-negara Asia Tenggara.
Ketegangan militer di Laut China Selatan akan memberi dampak langsung maupun tak langsung. Dampak langsung yakni kehadiran kekuatan militer negara-negara besar di perairan tersebut. Adapun dampak tak langsung yakni perlombaan senjata, risiko gangguan pelayaran, hingga pembengkakan biaya logistik dan keamanan.
Hadi Tjahjanto menekankan, Indonesia berkomitmen menjaga perdamaian dunia khususnya di kawasan Asia Pasifik. Ia memastikan Indonesia akan terus menyerukan agar semua pihak terkait dapat menahan diri guna mencegah konflik atau insiden, menjaga status quo, dan mengedepankan penggunaan cara-cara non-kekerasan atau perundingan damai yang berdasarkan norma hukum internasional.
"Kita tidak ingin wilayah LCS menjadi proyeksi wilayah major power dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah LCS menjadi sea of peace," tegasnya.
Mantan Panglima TNI ini menyebutkan, Indonesia cukup berperan aktif dalam upaya diplomasi perdamaian di LCS, baik melalui kerangka kerja sama bilateral maupun regional di ASEAN. Ia mengatakan, dalam kerangka ASEAN, dialog dan kerja sama di Laut China Selatan diwujudkan melalui penyusunan dokumen code of conduct antara ASEAN dan China.
"Salah satu kunci dialog dengan RRT terkait isu LCS adalah melalui ASEAN. Indonesia sebagai natural leader di ASEAN adalah motor penggerak di ASEAN yang selalu menghasilkan terobosan," ujarnya.
Ia menegaskan, Indonesia akan terus mendorong soliditas dan sentralitas ASEAN dalam membangun posisi bersama ASEAN untuk isu LCS. Ia kembali mengingatkan Indonesia akan selalu mengedepankan cara-cara dialog damai dalam setiap konflik di kawasan sekaligus mengedepankan prinsip penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara.
"Kita dapat melihat permasalahan di LCS melibatkan banyak pihak, perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan dinamika situasi yang berkembang. Salah perhitungan akan membawa dalam situasi konflik yang akan merugikan bersama," paparnya.
Mencari Kawan
Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Erik Purnama Putra, sependapat dengan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bahwa Indonesia perlu berperan aktif menjaga perdamaian sekaligus meredam konflik di Laut China Selatan. Ia mengatakan, konflik terbuka di LCS akan berdampak negatif ke banyak negara termasuk Indonesia.
"Apabila sampai terjadi perang di depan mata atau di pekarangan rumah kita, itu dampaknya pasti luar biasa. Tidak hanya mengganggu wilayah Laut China Selatan, tetapi juga merambat ke wilayah ASEAN hingga Asia Pasifik," katanya dalam webinar Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan.
Erik mengatakan, Indonesia tidak bisa bekerja sendiri untuk menjaga perdamaian sekaligus mengatasi sengketa di LCS. Ia mengusulkan Indonesia aktif mencari kawan dalam mengatasi persoalan LCS, khususnya menggandeng negara-negara anggota ASEAN.
"ISDS menganggap Indonesia perlu mencari kawan. Ancaman nyata kedaulatan di Laut China Selatan tidak bisa ditangani sendiri oleh pemerintah Indonesia," tuturnya.
Ia menyadari, sebagai negara non-blok maka Indonesia tidak bisa membentuk afiliasi militer. Akan tetapi, Indonesia bisa menggunakan jalur diplomasi bersama dengan negara-negara ASEAN.
Indonesia memang perlu mengingatkan ASEAN untuk kembali kompak dalam menghadapi ancaman kedaulatan di LCS. Sebagaimana diketahui, beberapa negara ASEAN seperti Filipina lebih memilih untuk meminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk mengatasi persoalan LCS.
"Indonesia dan negara-negara ASEAN harus kompak," tegasnya.
Hal serupa disampaikan oleh dosen program studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Ristian Atriandi Supriyanto, yang mengatakan bahwa Indonesia perlu lebih aktif mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk kompak menyelesaikan persoalan di LCS.
Ia menegaskan, persoalan antara China dan Filipina di LCS tidak hanya meningkatkan ketegangan di antara kedua negara tersebut. Akan tetapi, terjadi peningkatan ketegangan di seluruh negara ASEAN. Hal itu karena Filipina merupakan bagian dari negara ASEAN.
"Negara-negara ASEAN harus bersatu dan menyatakan sikap tegas," pungkasnya.