Nama William Soerjadjaja atau dikenal pula dengan nama lahirnya Tjia Kian Liong, menempati posisi istimewa dalam sejarah bisnis Indonesia. Ia bukan hanya pendiri PT Astra International Tbk (ASII), tetapi juga figur pengusaha yang kisah hidupnya sarat pengorbanan dan nilai kepemimpinan yang melampaui kepentingan pribadi.
Meski pernah membawa Astra menjadi konglomerasi terbesar kedua di Indonesia, perjalanan hidup William tidak selalu berjalan mulus. Namun, justru dari ujian-ujian itulah, warisan moral dan kepemimpinannya dikenang hingga kini.
William Soerjadjaja lahir di Majalengka, Jawa Barat, pada 20 Desember 1922. Ia wafat pada 2 April 2010, meninggalkan jejak panjang sebagai salah satu pemimpin bisnis paling inspiratif di Tanah Air. Sosok yang kerap disapa “Om William” ini telah melewati asam-garam dunia sejak kecil.
Baca Juga: Deretan Bisnis Astra Group, Menggurita ke Berbagai Sektor
Seperti apa perjalanan hidupnya? Simak rangkumannya berikut ini:
Ketangguhan yang Terbentuk Sejak Usia Belia
William berasal dari keluarga pedagang Tionghoa yang tergolong mapan. Namun, kehidupan memberinya ujian berat sejak dini. Pada usia 12 tahun, ia kehilangan kedua orang tuanya hanya dalam rentang waktu dua bulan.
Sang Ayah meninggal pada Oktober 1934, disusul ibunya pada Desember di tahun yang sama. Sejak saat itu, William harus tumbuh sebagai yatim piatu dan melanjutkan usaha keluarga di usia yang sangat muda.
Baca Juga: Kisah William Soerjadjaja: Sukses Dirikan Astra International hingga Pengorbanan Seorang Pemimpin
Pendidikan formalnya pun tidak berjalan mulus. Saat bersekolah di HCZS (Hollands Chinesche Zendingsschool) di Kadipaten, Majalengka, ia sempat tidak naik kelas. Hal serupa terjadi ketika melanjutkan pendidikan ke MULO di Cirebon.
Meski demikian, William yang dikenal tekun dan ulet tidak putus asa. Dari bangku sekolah, ia menunjukkan ketertarikan besar pada pelajaran ekonomi dan tata buku, dua fondasi penting yang kelak membentuk cara berpikir bisnisnya.
Pada usia 19 tahun, William memutuskan berhenti sekolah dan terjun langsung ke dunia usaha sebagai pedagang kertas di Cirebon. Usahanya berkembang pesat, bahkan merambah perdagangan hasil bumi seperti beras, gula, dan minyak. Dari titik inilah kemandiriannya benar-benar ditempa.
Menimba Ilmu ke Eropa dan Menjalani Hidup Sederhana
Berbekal hasil usahanya, William melanjutkan pendidikan ke Belanda untuk mempelajari teknik industri, khususnya penyamakan kulit. Di masa inilah ia menikah dengan Lily Anwar pada 15 Januari 1945 di Bandung. Pernikahan mereka berlangsung sangat sederhana, tanpa pesta dan tanpa dokumentasi foto.
Tak lama setelah menikah, William kembali berangkat ke Belanda untuk belajar. Kehidupan pasangan muda ini jauh dari kata mewah. Mereka menyambung hidup dengan berjualan kacang dan rokok kiriman dari Bandung, bahkan sempat hanya menyewa satu kamar hotel kecil di Amsterdam. Dalam perjalanan ke Basel, Swiss, mereka bertahan hidup dengan roti, bubur, dan susu demi berhemat.
Pada Februari 1949, William dan keluarganya kembali ke Indonesia. Ia mendirikan pabrik penyamakan kulit dan terus merintis usaha, meski kegagalan sempat menghampiri ketika CV Sanggabuana, perusahaan ekspor-impor yang ia dirikan pada 1952, bangkrut akibat penipuan rekan bisnis.
Lahirnya Astra dan Ekspansi ke Berbagai Sektor
Titik balik besar terjadi pada 1957, ketika William bersama adiknya, Drs. Tjia Kian Tie, serta sahabatnya Lim Peng Hong dan Teddy Thohir mendirikan PT Astra International Inc. Perusahaan ini awalnya bergerak di pemasaran minuman ringan dan ekspor hasil bumi.
Langkah strategis Astra masuk ke sektor otomotif pada 1968–1969 menjadi keputusan monumental. Astra sukses mengimpor 800 unit truk Chevrolet, lalu melanjutkannya dengan perakitan lokal. Dari sinilah Astra tumbuh menjadi raksasa otomotif nasional, menjadi distributor dan perakit berbagai merek besar seperti Toyota, Daihatsu, Komatsu, sepeda motor Honda, hingga mesin fotokopi Xerox.
Dalam kurun waktu 13 tahun, sudah 72 perusahaan berada di bawah naungan Astra. Pada awal 1990-an, jumlah anak usaha Astra melonjak hingga sekitar 300 perusahaan, mencakup sektor otomotif, keuangan, perbankan, perhotelan, hingga properti. Di masa inilah Astra mencapai puncak kejayaannya.
Baca Juga: Kerajaan Bisnis Astra Group: dari Otomotif hingga Properti
Dikenal sebagai Pemimpin yang Punya Prinsip Kuat
William dikenal sebagai pengusaha yang sangat menjunjung independensi. Ia menolak praktik pemberian diskon kendaraan kepada pejabat pemerintah atau petinggi militer. Prinsip ini sekaligus menegaskan pandangannya bahwa bisnis harus dijalankan secara profesional dan berintegritas.
Di internal Astra, William mengedepankan pengembangan sumber daya manusia. Ia mengirim banyak karyawannya belajar ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang sejak 1970-an. Ia juga membuka ruang luas bagi tenaga kerja pribumi untuk menduduki posisi strategis, sebagai wujud kecintaannya pada Indonesia.
Baca Juga: Mengenang Sosok Soedarpo Sastrosatomo, Sang Raja Kapal Indonesia
Nilai loyalitas, naluri, dan rasa percaya menjadi pegangan utama William dalam merekrut dan membina karyawan. Ia mendorong inovasi dan memberi ruang bagi ide-ide baru untuk diuji dan dikembangkan.
Ketika Badai Besar Datang
Badai besar menghantam kehidupan William pada awal 1990-an melalui krisis Bank Summa, bank yang dikuasai William dan anak sulungnya, Edward Soerjadjaja. Bank yang sempat masuk jajaran 10 bank swasta terbaik itu runtuh akibat kredit bermasalah dan utang luar negeri yang menumpuk hingga Rp1,5 triliun.
Tanpa dukungan Bank Indonesia, William mengambil keputusan dramatis dengan menjual 76 persen saham Astra dengan harga sekitar Rp7.000–8.000 per lembar, jauh dari nilai pasar Rp10.000 saat itu. Langkah ini diambil demi melunasi kewajiban dan melindungi para karyawan Bank Summa yang kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Mengenang Marga T, Ikon Sastra Populer Indonesia yang Abadi Lewat Karmila dan Badai Pasti Berlalu
Keputusan tersebut melengserkannya dari pucuk kepemimpinan Astra, namun justru mengukuhkan reputasinya sebagai pemimpin berintegritas tinggi yang rela mengorbankan mahkota bisnisnya demi tanggung jawab moral.
Meski sempat jatuh, William kembali bangkit. Ia berinvestasi di berbagai sektor, termasuk membeli saham PT Mandiri Intifinance serta mendukung pengembangan petani kecil dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Hingga akhir hayatnya, William tetap memegang prinsip hidup sederhana, kerja keras, dan kepedulian pada sesama.
William Soerjadjaja wafat pada 2 April 2010 di RS Medistra, Jakarta Selatan. Sosoknya memang telah tiada, tetapi nilai-nilai yang ia tinggalkan terus hidup dalam sejarah Astra dan dunia bisnis Indonesia.