Refleksi atas Tantangan Ekonomi Kekinian
Harryadin menyampaikan bahwa pada tahun-tahun terakhir, dunia kembali bergerak menuju proteksionisme. Negara-negara mulai memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-masing, menandai semacam regional reservice di mana negara-negara ingin ‘mengurus dirinya sendiri’. Dalam konteks ini, pemikiran Prof. Soemitro justru menjadi semakin relevan.
“Negara harus menjadi agen utama dalam mendistribusikan kekayaan nasional secara adil. Kalau negara tidak menjalankan fungsi itu dengan efisien dan adil, maka negara telah gagal menjalankan perannya,” tegas Harryadin.
Ia juga menyoroti bahwa Indonesia belum memiliki strategi distribusi kekayaan nasional yang jelas dan tegas. Hal ini menyebabkan kesenjangan sosial tetap tinggi dan akses terhadap kesempatan ekonomi belum merata.
Dalam banyak langkahnya, Prof. Soemitro menggabungkan mazhab ekonomi, misalnya lebih terbuka terhadap investasi, modal asing, transfer teknologi hingga membuka diri terhadap impor maupun export. Strategi ekonomi yang lebih terbuka dan adaptif terhadap situasi saat itu
“Saat itu dunia menuju integrasi ekonomi yaitu globalisasi. Globalisasi menjadi jargon utama. Tapi sekarang tahun 2025 ini, kita mengalami episode sejarah yang berbeda. Kita sedang berada di situasi dimana semua negara menjadi selfish. Sekarang negara ingin mengurus dirinya sendiri, tidak lagi mau memberikan peluang bagi negara lain,” ujar Harryadin.
Jika dikaitkan dengan pemikiran Prof. Soemitro dengan kebijakan Presiden Prabowo, kata Harryadin, ini erat kaitannya terutama dengan program Makan Bergizi Gratis.
“Program ini sangat sosialis sekali. Jadi bisa dibilang ini kembali kepada ajaran dan pemikiran Profesor Sumitra bahwa tugas utama negara adalah menjadi agen distribusi kekayaan kepada rakyatnya. Jadi ukuran keberhasilan negara, apabila bisa mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil kepada rakyatnya. Saat ini Indonesia masih belum punya roadmap agar negara ini mendistribusikan kekayaannya,” paparnya.
“Saya rasa Presiden Prabowo pun melihat bahwa negara harus semakin berani dan agresif dalam perannya, untuk mendistribusikan kekayaan negara ini kepada masyarakat, terutama masyarakat yang paling bawah. Supaya kesenjangan semakin turun dan tujuan bernegara itu sendiri tercapai,” lanjut Harryadin.
Di kesempatan yang sama, Redi Kalingga, selaku Fellow di Soemitro Center menyampaikan bahwa Prof. Soemitro bukan sekadar begawan ekonomi tapi seorang patriot dan lahir dari keluarga patriot. Jiwa patriotisme itu yang ingin kita warisi juga
“Profesor Soemitro berperan sebagai menteri di era pemerintahan Soekarno maupun Presiden Soekarno. Namun, jika ada kebijakan yang kurang tepat, beliau juga memberi masukan Oleh karena itu, Soemitro Center, walaupun hadirnya di era pemerintahannya Pak Prabowo, kita tidak ingin hanya sekadar cheerleader, tapi ketika memang ada yang perlu diperbaiki, kita akan memberikan masukan,” kata Reddy
Terutama dalam koridor pemikiran Prof. Soemitro, Reddy melihat selalu mengedepankan pembangunan manusia, pembangunan sentra-sentra ekonomi di daerah, untuk melahirkan SDM yang baik, dan melahirkan pengusaha-pengusaha lokal yang berdaya.
Kemudian, menurut Ekonom, Stefan Sapto Handoyo, kontribusinya Prof. Soemitro sangat besar sekali di awal-awal Indonesia merdeka.
“Keunikan Prof. Soemitro adalah bisa membaca situasi ekonomi makro pada saat itu dan bagaimana menerjemahkannya untuk bisa tepat guna, untuk menghidupkan ekonomi mikro Indonesia,” katanya.
Dalam pandangan Stefan, Prof. Soemitro adalah bapak perkreditan rakyat. Karena ekonomi kerakyatannya luar biasa.
“Kenapa beliau menekankan kredit dan perbankan? Karena beliau memahami benar, jika ekonomi itu diartikan tubuh manusia, jantungnya itu adalah bank. Kalau jantungnya nggak sehat dulu, ekonominya nggak akan jalan. Itulah briliannya Prof. Soemitro,” tandas Stefan.