Di antara deretan tokoh penting dalam sejarah perekonomian Indonesia, nama Prof. Soemitro Djojohadikusumo menempati posisi istimewa. Ia bukan hanya dikenal sebagai begawan ekonomi dan arsitek kebijakan ekonomi nasional, tetapi juga sebagai pemikir strategis yang mampu membaca dinamika domestik dan global secara tajam.

Dalam perjalanannya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mewariskan tidak hanya kebijakan, tetapi juga kerangka berpikir yang relevan hingga hari ini. Ia juga adalah tokoh yang menjabat lima kali sebagai menteri di era Orde Lama dan Orde Baru, pikirannya memadukan disiplin ekonomi, integritas, dan patriotisme.

Menurut Harryadin Mahardika, selaku Ketua Soemitro Center, warisan intelektual Prof. Soemitro masih sangat kontekstual, bahkan di tengah tantangan ekonomi global yang kian kompleks.

“Kalau kita mengikuti perjalanan beliau, kita melihat bahwa beliau pernah berada pada spektrum pemikiran ekonomi yang sangat sosial, tetapi juga terbuka terhadap strategi investasi dan pembangunan industri. Itu menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman analisis beliau terhadap dinamika zaman,” ujar Harryadin, saat konferensi pers di Museum Juang Taruna Kota Tangerang, Banten, Kamis (29/5/2025).

Harryadin menuturkan, pada masa awal kiprahnya, Prof. Soemitro banyak menggagas kebijakan yang bercorak sosialis, di mana negara berperan besar dalam mendistribusikan kekayaan secara adil kepada rakyat.

Salah satu contohnya adalah pemikirannya tentang ‘bevisi gratis’, yakni program dengan semangat sosial yang kuat, bertujuan memberikan akses kepada rakyat kecil terhadap layanan dan sumber daya.

Namun seiring waktu, Prof. Soemitro menunjukkan keluwesan dalam menyikapi realitas politik dan ekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia kemudian mendorong korporatisasi, memperkuat sektor ekspor, dan membuka ruang bagi investasi asing yang selektif, sebagai respons terhadap dinamika geopolitik dan kebutuhan pembangunan nasional.

“Beliau peka terhadap perubahan power global dan regional. Maka, langkah beliau pun menyesuaikan, dari strategi sosial ke pembukaan korporasi ekspor, sebagai bentuk evolusi pemikiran,” lanjut Harryadin.

Baca Juga: Prabowo: Saya Bukan Presiden Boneka

Refleksi atas Tantangan Ekonomi Kekinian

Harryadin menyampaikan bahwa pada tahun-tahun terakhir, dunia kembali bergerak menuju proteksionisme. Negara-negara mulai memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-masing, menandai semacam regional reservice di mana negara-negara ingin ‘mengurus dirinya sendiri’. Dalam konteks ini, pemikiran Prof. Soemitro justru menjadi semakin relevan.

“Negara harus menjadi agen utama dalam mendistribusikan kekayaan nasional secara adil. Kalau negara tidak menjalankan fungsi itu dengan efisien dan adil, maka negara telah gagal menjalankan perannya,” tegas Harryadin.

Ia juga menyoroti bahwa Indonesia belum memiliki strategi distribusi kekayaan nasional yang jelas dan tegas. Hal ini menyebabkan kesenjangan sosial tetap tinggi dan akses terhadap kesempatan ekonomi belum merata.

Dalam banyak langkahnya, Prof. Soemitro menggabungkan mazhab ekonomi, misalnya lebih terbuka terhadap investasi, modal asing, transfer teknologi hingga membuka diri terhadap impor maupun export. Strategi ekonomi yang lebih terbuka dan adaptif terhadap situasi saat itu

“Saat itu dunia menuju integrasi ekonomi yaitu globalisasi. Globalisasi menjadi jargon utama. Tapi sekarang tahun 2025 ini, kita mengalami episode sejarah yang berbeda. Kita sedang berada di situasi dimana semua negara menjadi selfish. Sekarang negara ingin mengurus dirinya sendiri, tidak lagi mau memberikan peluang bagi negara lain,” ujar Harryadin.

Jika dikaitkan dengan pemikiran Prof. Soemitro dengan kebijakan Presiden Prabowo, kata Harryadin, ini erat kaitannya terutama dengan program Makan Bergizi Gratis.

“Program ini sangat sosialis sekali. Jadi bisa dibilang ini kembali kepada ajaran dan pemikiran Profesor Sumitra bahwa tugas utama negara adalah menjadi agen distribusi kekayaan kepada rakyatnya. Jadi ukuran keberhasilan negara, apabila bisa mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil kepada rakyatnya. Saat ini Indonesia masih belum punya roadmap agar negara ini mendistribusikan kekayaannya,” paparnya.

“Saya rasa Presiden Prabowo pun melihat bahwa negara harus semakin berani dan agresif dalam perannya, untuk mendistribusikan kekayaan negara ini kepada masyarakat, terutama masyarakat yang paling bawah. Supaya kesenjangan semakin turun dan tujuan bernegara itu sendiri tercapai,” lanjut Harryadin.

Di kesempatan yang sama, Redi Kalingga, selaku Fellow di Soemitro Center menyampaikan bahwa Prof. Soemitro bukan sekadar begawan ekonomi tapi seorang patriot dan lahir dari keluarga patriot. Jiwa patriotisme itu yang ingin kita warisi juga

“Profesor Soemitro berperan sebagai menteri di era pemerintahan Soekarno maupun Presiden Soekarno. Namun, jika ada kebijakan yang kurang tepat, beliau juga memberi masukan Oleh karena itu, Soemitro Center, walaupun hadirnya di era pemerintahannya Pak Prabowo, kita tidak ingin hanya sekadar cheerleader, tapi ketika memang ada yang perlu diperbaiki, kita akan memberikan masukan,” kata Reddy

Terutama dalam koridor pemikiran Prof. Soemitro, Reddy melihat selalu mengedepankan pembangunan manusia, pembangunan sentra-sentra ekonomi di daerah, untuk melahirkan SDM yang baik, dan melahirkan pengusaha-pengusaha lokal yang berdaya.

Kemudian, menurut Ekonom, Stefan Sapto Handoyo, kontribusinya Prof. Soemitro sangat besar sekali di awal-awal Indonesia merdeka.

“Keunikan Prof. Soemitro adalah bisa membaca situasi ekonomi makro pada saat itu dan bagaimana menerjemahkannya untuk bisa tepat guna, untuk menghidupkan ekonomi mikro Indonesia,” katanya.

Dalam pandangan Stefan, Prof. Soemitro adalah bapak perkreditan rakyat. Karena ekonomi kerakyatannya luar biasa.

“Kenapa beliau menekankan kredit dan perbankan? Karena beliau memahami benar, jika ekonomi itu diartikan tubuh manusia, jantungnya itu adalah bank. Kalau jantungnya nggak sehat dulu, ekonominya nggak akan jalan. Itulah briliannya Prof. Soemitro,” tandas Stefan.

Baca Juga: Pertemuan Bill Gates dan Prabowo Subianto: Bicara TBC, Dana Hibah, hingga Rencana Pemberian Gelar Kehormatan