Polemik Raja Jawa yang diucapkan Bahlil Lahadalia sesaat setelah terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar menggantikan posisi Airlangga Hartarto masih menjadi sorotan publik. 

Pernyataan Bahlil di hadapan ratusan kader Golkar soal sosok Raja Jawa yang tak neko-neko itu bikin publik berspekulasi, banyak pihak yang kemudian menyimpulkan, bahwa pernyataan itu merujuk pada sosok Presiden Joko Widodo.

Sampai sekarang Bahlil tak pernah menjelaskan siapa sosok Raja Jawa yang dimaksud kendati pertanyaannya kini dikritik keras berbagai pihak. 

Baca Juga: Kisah Sukses Kopi Kenangan, Raja Kopi Asia yang Menembus Belantara Pasar Internasional

Terlepas dari urusan politik dan dinamikanya sekarang ini, sejarah bangsa ini memang mencatat ada sosok yang sangat disegani penjajah pada masa lampau. 

Dari sekian banyak raja-raja yang menguasai berbagai wilayah nusantara  yang ketika itu yang masih belum berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), muncul satu nama yang oleh  penjajah Belanda dijuluki sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota atau dalam bahasa Belanda dia disebut Ongeekronde Koning Van Java.  Dia adalah Raden Mas Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. 

Melawan dengan Pena 

HOS Tjokroaminoto memang tidak sepopuler pejuang-pejuang lain dengan kisah-kisah heroik di masa lalu. Namun perjuangan mengusir penjajah tak bisa dianggap remeh, hal ini yang kemudian membuat dirinya mendapat gelar pahlawan Nasional dan tokoh pendidikan. 

Belanda menjulukinya sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota lantaran pria kelahiran 16 Agustus 1882 di Ponorogo, Jawa Timur memilih meninggalkan semua gelar mentereng yang diwariskan keluarganya dan memilih hidup sebagai rakyat biasa dan berjuang bersama masyarakat lainnya untuk mengusir Belanda. 

HOS Tjokroaminoto terlahir dengan darah ningrat dari sang  Ayah yang bernama Raden Mas Tjokromiseno.  Kakeknya dari garis bapak, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, tercatat sebagai Bupati Ponorogo. Sementara buyutnya, Kiai Bagoes Kesan Besari, seorang ulama pengasuh pondok pesantren di Tegal Sari, Ponorogo.

Baca Juga: Jokowi: Saya Kalau Lihat Pohon Beringin Bawaannya Adem dan Sejuk

Sejak kecil HOS Tjokroaminoto menjalankan kehidupan normal sebagai keluarga bangsawan. Dia menempuh sekolah kepegawaian hingga tamat dan bekerja sebagai juru tulis yang berstatus pegawai negeri kolonis. Dia bekerja untuk sejumlah instansi milik Belanda. 

Namun pada 1905, ia meninggalkan pekerjaannya, HOS Tjokroaminoto memilih meninggalkan semua kehidupan bersama keluarganya dan memulai perjalanan ke Surabaya pada 1907. 

Keputusannya sempat ditentang habis-habisan oleh mertuanya, namun tekad yang sudah bulat tak kuasa ia urungkan. Ini adalah titik permulaan  HOS Tjokroaminoto memulai perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

HOS Tjokroaminoto memilih berjuang dengan caranya sendiri, tidak seperti kebanyakan masyarakat yang angkat senjata dan berperang habis-habisan melawan penjajah, HOS Tjokroaminoto memilih melawan lewat tulisannya. 

Dia menentang keras penjajah lewat sejumlah artikelnya. Hal yang paling disorot dalam setiap tulisannya adalah penghisapan perusahaan-perusahaan Belanda kepada Pribumi. 

Baca Juga: BCA Digital, Cara Perusahaan Jawab Kebutuhan Nasabah Milenial

Tulisan-tulisan keras yang menghantam penjajah bikin nama HOS Tjokroaminoto mulai populer di kalangan tokoh-tokoh pergerakan yang kemudian membawanya bergabung dengan Haji Samanhudi, tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). 

Bergabung dengan  Sarekat Dagang Islam,  HOS Tjokroaminoto langsung membawa perubahan besar, ia yang mencetus  pergantian nama SDI menjadi  Sarekat Islam (SI) satu-satunya organisasi di era penjajahan. 

Pada September 1912, HOS Tjokroaminoto didapuk memimpin organisasi itu. Di bawah kepemimpinannya, SI berkembang pesat, tercatat organisasi ini memiliki anggota  hingga 2,5 juta orang kendati Belanda tak mau mengakui keberadaan organisasi tersebut. 

Mendidik Soekarno

Selain berorganisasi dan aktif melawan penjajah lewat tulisan-tulisannya HOS Tjokroaminoto juga membuka diskusi dengan tokoh-tokoh bangsa, tentu saja diskusi itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 

Hampir setiap waktu HOS Tjokroaminoto menerima tamu di rumah. Mereka mendiskusikan apa saja mengenai bangsa ini. 

Rumahnya di kampung Peneleh, Surabaya adalah saksi HOS Tjokroaminoto bersama  tokoh-tokoh pergerakan kala itu seperti Tan Malaka, Kartosoewirjo, Musso, Semaun, Alimin dan sebagainya Berdiskusi perihal persoalan-persoalan bangsa khususnya  kolonialisme dan kapitalisme. 

Baca Juga: Sambangi Kantor PDI Perjuangan Jakarta, Anies Baswedan: Kita Menyamakan Visi Misi

Dia juga tercatat pernah menampung Soekarno di rumahnya dan mengajarkan banyak hal kepada sang proklamator. Soekarno sendiri mengakui hal itu dalam buku  Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. 

“Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku,” kata Soekarno dalam bukunya.