Growthmates, pasti kamu sudah gak asing lagi dengan istilah literasi, kan? Kali ini, redaksi Olenka tidak lagi membahas tentang pengertian literasi, namun akan mengupas tuntas tentang jejak literasi di Indonesia. Seperti apa, ya?
Sesungguhnya, menelusuri jejak literasi di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang, bahkan sampai melampaui peluncuran pertama kali mengenai global literacy effort oleh UNESCO pada tahun 1946.
Baca Juga: Apa Itu Literasi? Ini Pengertian, Jenis dan Prinsipnya dari Kacamata Para Ahli!
Kendati demikian, banyak yang mengamini bahwa jejak literasi di Indonesia telah ada sejak dahulu kala. Secara sederhana, peninggalan gambar-gambar dan tulisan-tulisan di goa prasejarah atau prasasti dan candi-candi juga dinilai sebagai bukti bahwa literasi telah lahir sejak ribuan tahun lalu.
Menurut para antropolog, arkeolog, dan filolog, bahwa literasi tulis-menulis di Indonesia sudah mulai berkembang sejak abad 5 masehi sejak kehadiran bangsa Hindu dan Budha. Selain itu, dalam sebuah catatan di abad 13, kehadiran agama Islam di Nusantara juga mempengaruhi perkembangan dunia literasi Indonesia.
Pada masa Hindu dan Budha sudah dikenalkan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Bahkan, pada era Islam pun berkembang pula bahasa Arab dengan aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu.
Kemudian, seiring berkembangnya zaman, literasi pun turut berkembang dengan masif. Salah satunya adalah lahirnya buku karya R.A Kartini yang berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang.
Sejak pemerintahan Ir. Soekarno, literasi semakin dikembangkan. Bahkan, lahir perumpamaan bahwa untuk memajukan Indonesia, Bung Karno tak lagi angkat senjata, melainkan mengangkat buku dan pena guna memberantas buta huruf di kalangan masyarakat.
Baca Juga: Membandingkan Literasi di Indonesia Dulu dan Sekarang, Seperti Apa?
Lahir Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH)
Merangkum dari berbagai sumber, salah satu upaya pemerintah pada tahun 1948 untuk meningkatkan literasi baca di Indonesia adalah mencanangkan sebuah program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Program tersebut berhasil terlaksana di 18.663 lokasi, dengan melibatkan guru dengan jumlah 17.822 orang dan murid dengan jumlah 761.483 orang.
Sedangkan untuk penyelenggaraan secara swadayanya, dilakukan pula di sekitar 881 lokasi dengan melibatkan guru berjumlah 515 orang dan murid berjumlah 33.626 orang. Setidaknya berkat program PBH tersebut bisa menekan angka 90% buta huruf menjadi turun sampai 40%. Sampai tahun 1960-an.
Program Paket ABC
Memasuki tahun 1966-an. memasuki masa orde baru, perjalanan dunia literasi Indonesia terus berlanjut dengan dicanangkannya program pemberantasan buta huruf dengan sebutan Program Paket ABC. Program tersebut sangat berbeda dengan program sebelum-sebelumnya yang pada praktiknya memobilisasi massa secara besar-besaran untuk kegiatan pemberantasan buta aksara. Namun, Program Paket ABC ini cenderung lebih mengandalkan birokrasi pemerintah.
Program Aksarawan Fungsional
Selanjutnya pada tahun 1972-an, perjalanan literasi di Indonesia berlanjut dengan dicanangkan program Aksarawan Fungsional. Program tersebut adalah pemberian pelajaran menulis, membaca, berhitung dan keterampilan-keterampilan tertentu.
Baca Juga: Pentingnya Literasi Digital di Era Globalisasi
Pada tahun itu program Aksarawan fungsional yang sebetulnya sudah dilakukan sejak masa Orde Lama, semakin direvisi dan diperbarui agar dapat mengurangi jumlah masyarakat yang masih buta akan huruf.
Program Inovasi Pendidikan
Kemudian, memasuki tahun 1975-an, pemerintah kembali mencanangkan program baru, yakni kegiatan inovasi pendidikan. Program tersebut lebih mengarah kepada pendidikan di semua jenis dan tingkat pendidikan di dalam pendidikan formal ataupun di pendidikan non formal (luar sekolah).
Pada kegiatan inovasi pendidikan ini ada sekitar 25 poin yang salah satu poin terpentingnya ialah program wajib belajar (Wajar). Pada tanggal 2 Mei 1984, presiden Soeharto menetapkan program wajib belajar (Wajar) secara langsung. Program Wajar tersebut dikhususkan kepada anak-anak yang berusia 7 – 12 tahun, yakni usia sekolah dasar ataupun sederajat.
Era Literasi Baru
Pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 muncul paradigma literasi baru. Menurut penelitian Hamidulloh Ibda, tantangan pada era ini sangat kompleks yang mengharuskan masyarakat mengimplementasikan literasi baru (literasi data, literasi teknologi, literasi manusia) yang menjadi pelengkap literasi lama (membaca, menulis, berhitung).
Munculnya era literasi baru tidak lepas dari era revolusi industri 4.0. Kondisi ini, adalah era dunia industri digital telah menjadi suatu paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan saat ini. Era revolusi industri 4.0 hadir bersamaan dengan era disrupsi yang sejak tahun 2017 mulai direspon serius kalangan terdidik.
Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 atau era disrupsi diperlukan “literasi baru” selain literasi lama. Literasi lama yang ada saat ini digunakan sebagai modal untuk berkiprah di kehidupan masyarakat. Literasi data, teknologi, dan SDM harus direspon pendidikan tinggi yang bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran.