Prabowo Subianto akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari Joko Widodo (Jokowi) dalam memimpin Indonesia. Membawa 8 Asta Cita yang hendak dicapai selama 2024-2029, Menteri Pertahanan Republik Indonesia periode 2019-2024 itu menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen mulai 2027. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini diproyeksi hanya berkisar 5%.

Eisha Maghfiruha Rachbini, Direktur Program INDEF, menegaskan bahwa Prabowo perlu bekerja keras melakukan industrialisasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Sedikit berbeda dengan hilirisasi yang selama ini menjadi program unggulan pemerintah, industrialisasi berfokus pada pergeseran sektor ekonomi dari pertanian ke sektor manufaktur. Sementara itu, hilirisasi menitikberatkan pada peningkatan nilai tambah produk atau komoditas.

Baca Juga: Hilirisasi Dapat Selamatkan 60 Ton Emas Per Tahun

"Hilirisasi, jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional, kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi satu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasis peran manufaktur yang tinggi. Istilah industrialisasi lebih banyak dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju," terang Eisha dalam diskusi publik di Universitas Paramadina, 22 September 2024.

Sayangnya, kondisi ekonomi saat ini malah menunjukkan adanya tren deindustrialisasi dini. Tercatat, kontribusi sektor industri terus menurun dalam satu dekade terakhir, bahkan pada 2023 hanya tumbuh 18%. Padahal, di era 1989-1996, pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat; dari 19% terus meningkat menjadi 25%. Industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu.

Idealnya, pertumbuhan industri manufaktur tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, selama Semester I-2024, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia hanya menyentuh angka 4,04%, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,08 persen. Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun (2014-2018) adalah 5,03%  dan 3,4% (2019-2023). Sementara, rata-rata pertumbuhan manufaktur masih ada di bawahnya, yakni sebesar 4,19% (2014-2018) dan 2,81% (2019-2023).

"Yang kini terjadi adalah pertumbuhan industri selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Masih banyak kendala dan tantangan bagi sektor manufaktur untuk jadi pendorong pertumbuhan ekonomi," kata Eisha.

Tantangan Industrialisasi Indonesia

Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi sektor industri manufaktur di Indonesia guna menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional, yakni:

  • Masih rendahnya daya saing produk industri pengolahan untuk produk-produk medium high-tech;
  • Masih rendahnya produktivitas industri pengolahan;
  • Kurangnya tenaga kerja terampil (skilled labor) dan perlunya modal besar untuk mendukung transformasi ke Industri 4.0 dan digitalisasi;
  • Perlunya peningkatan jumlah, kapasitas, dan produktivitas SDM untuk percepatan transformasi ke arah industri bernilai tambah dan berteknologi tinggi;
  • Hilirisasi komoditas berbasis SDA perlu dioptimalkan dengan menggunakan inovasi dan teknologi agar dapat meningkatkan nilai tambah dan mendorong integrasi rantai pasok domestik;
  • Tantangan pembangunan dan operasionalisasi Kawasan Industri akibat ketersediaan infrastruktur luar dan dalam kawasan (konektivitas, jaringan listrik dan gas, serta pasokan air baku), ketidakpastian pasokan bahan baku, perubahan perencanaan KI termasuk tata ruang dan perizinan, serta kemampuan pengelola Kawasan yang perlu ditingkatkan untuk menarik investasi kunci (anchor tenant); serta
  • Penggunaan komponen dan produk industri pengolahan dalam negeri yang perlu dioptimalkan.

"Turunnya produktivitas manufaktur Indonesia sejak 2010 harus menjadi semacam red light. Labour productivity Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain seperti China, Jepang, dan negara maju lainnya. Daya saing share prouductity Indonesia bahkan masih di bawah Thailand," catat Eisha.

Berdasarkan data World Bank tahun 2022, persentase eskpor manufaktur Indonesia terhadap seluruh total ekspor masih di bawah 50%, tepatnya sebesar 44,92% pada tahun 2021. Kinerja tersebut tertinggal jauh dari China yang mencapai 93,55%, Vietnam (86,43%), bahkan Malaysia (70%). Bahkan, penggunaan medium high-tech manufacture technology Indonesia juga masih rendah, baru menyentuh angka 37,32%.

"Eskpor Indonesia didominasi oleh commodity base yang tingkat kompleksitas produknya masih rendah. Produk-produk seperti palm oil, coal, dan turunannya masih termasuk low complexity," jelas Eisha.

Dengan economy complexity yang tinggi, sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa Indonesia mampu memproduksi dengan baik, nilai tambah tinggi, berkualitas dengan high tech technology sehingga bisa memberikan produktivitas dan memiliki inovasi dan keterampilan tinggi. Daya saing ekspor yang meningkat pada gilirannya akan menumbuhkan ekonomi dan mendorong penggunaan emisi, menyediakan lapangan kerja, menurunkan pengangguran, dan mengurangi kemiskinan.

"Ketika ingin menjadi negara maju, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah dan berproduksi via industri manufaktur yang dapat menyediakan nilai tambah dan export complexity yang tinggi. Selain itu, Indonesia perlu melakukan diversifikasi produk ekspor sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Intinya adalah melakukan industrialisasi," pungkasnya.