Harga pangan kembali menjadi perbincangan hangat menjelang akhir 2025. Inflasi sektor pangan bergejolak atau volatile foods melonjak hingga 6,44 persen secara tahunan (year on year), tertinggi dalam satu tahun terakhir dan jauh melampaui target inflasi umum pemerintah sebesar 2,5 persen ±1 persen.
Kenaikan ini terutama terlihat pada komoditas sumber protein seperti ayam, telur, dan ikan yang harganya terus menanjak di berbagai daerah.
Laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, sejak Juni 2025 harga ayam ras naik 9,3 persen, ikan kembung 3,2 persen, dan telur ayam 2,9 persen.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menilai gejolak ini bukan sekadar faktor musiman. Ia menyebut, lonjakan permintaan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi pemicu utama kenaikan harga di pasar.
“Fakta ini memperkuat dugaan bahwa lonjakan permintaan akibat MBG adalah pemicu langsung kenaikan harga ayam di pasar,” ungkapnya, dikutip dari Kompas.com.
Lantas, benarkah program MBG berdampak pada kenaikan harga pangan nasional? Dikutip dari berbagai sumber, Minggu (2/11/2025), berikut Olenka ulas selengkapnya.
Baca Juga: Andalkan Pangan Lokal, Pemerintah Pastikan Krisis Global Tak Ganggu Program MBG
Pemerintah Akui Harga Naik karena Permintaan MBG
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), mengakui bahwa kenaikan harga memang terjadi akibat lonjakan permintaan dari pelaksanaan program MBG.
“Memang, karena ini kita mengejar makan bergizi. Perlu jutaan telur, perlu jutaan ayam. Dampaknya memang agak-agak naik,” tutur Zulhas, sapaan akrabnya, di Jakarta, Sabtu (1/11/2025), dikutip dari Detik Finance.
Diketahui, program MBG sendiri menargetkan 82,9 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Menurut Zulhas, besarnya kebutuhan bahan pangan dalam waktu singkat menekan rantai pasok nasional.
“Ayam ini tidak bisa kita paksakan menurun hari ini. Jadi memang perlu waktu. Karena memberi makan banyak sekali penerima manfaat. Sehingga (harga) telur naik sedikit, ayam naik sedikit. Tentu dampaknya artinya program ini berhasil,” jelasnya.
Zulhas menegaskan, pemerintah tengah menyiapkan langkah stabilisasi harga jangka menengah, seperti percepatan swasembada pangan dan penguatan produksi lokal.
“Tahun depan swasembada pangan harus kita percepat lagi, apakah telur, ayam, ikan, dan seterusnya. Karena makan bergizi ini percepatannya luar biasa di akhir tahun, jadi kita perlu waktu untuk membangun,” tuturnya.
Di tengah perdebatan antara tekanan inflasi dan manfaat sosial, program MBG kini menjadi cermin dua sisi kebijakan pangan nasional, di satu sisi menekan inflasi jangka pendek, di sisi lain menunjukkan keberhasilan peningkatan gizi dan serapan hasil produksi lokal.
Zulkifli Hasan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengurangi volume program tersebut.
“Kalau produksi bisa ditingkatkan, peternak untung, rakyat sehat, dan harga stabil, itu baru namanya kemandirian pangan,” ujarnya optimistis.
Baca Juga: Infrastruktur Sanitasi Jadi Kunci Keamanan Pangan Program MBG
Respons Pengamat
Data pemerintah menunjukkan inflasi pangan bergejolak kini menjadi tantangan utama, meskipun inflasi umum masih relatif terkendali di 2,65% YoY pada September 2025. Deputi I Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, pun memastikan koordinasi antarinstansi tetap berjalan.
“Nanti dengan serangkaian kebijakan yang kita lakukan, diharapkan inflasi volatile foods bisa kita jaga di level di bawah 5%,” terang Ferry dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Selasa (28/10/2025), dikutip dari Bisnis.com.
Namun, sejumlah pengamat menilai efek MBG terhadap inflasi perlu diwaspadai. Ekonom IPB, Dr. Arief Setiawan, menekankan, pentingnya manajemen stok dan logistik sejak awal.
“Kebijakan pangan seperti MBG memang mulia, tetapi tanpa strategi produksi dan distribusi yang matang, dampaknya bisa menjadi tekanan inflasi jangka pendek,” ungkap Arief, sebagaimana dikutip dari TIMES Indonesia, Minggu (2/11/2025).
Sementara itu, Peneliti Senior LPEM FEB UI, Vid Adrison, mengingatkan bahwa dampak inflasi paling dirasakan kelompok miskin.
“Kenaikan harga ini akan dirasakan oleh setiap pihak, tapi yang paling berat adalah masyarakat miskin. Ketika harga makanan naik, biaya hidup mereka terdampak signifikan. Pemerintah bisa saja harus mengeluarkan dana lebih besar untuk bantuan,” ungkapnya,
Vid juga mengingatkan risiko lain jika program MBG dijalankan terlalu masif tanpa pengawasan rantai pasok.
“Permintaan besar dari dapur MBG akan mengurangi pasokan di pasar umum, yang membuat harga pangan semakin mahal,” katanya, dikutip dari Tribunnews.
Kemudian, Anggota Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) lainnya, Rizki Nauli Siregar, pun turut menyoroti bahwa klaim MBG mampu mengangkat ekonomi lokal belum terbukti.
“Argumen bahwa MBG bisa mengangkat perekonomian lokal itu belum bisa kita lihat buktinya. Sebaiknya program dijalankan bertahap melalui pilot project berbasis bukti dan melibatkan lembaga independen,” bebernya, dikutip dari Kontan.
Baca Juga: Presiden Prabowo: Kasus Keracunan Program MBG Masih Bisa Dicegah, Tapi Tak Boleh Diabaikan