Industri daur ulang plastik di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat keterbatasan bahan baku. Penutupan sementara impor limbah non B3 plastik membuat pelaku industri harus bersaing memperebutkan pasokan lokal yang kualitasnya belum memadai.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Justin Wiganda, menyoroti kesenjangan antara ketersediaan bahan baku dalam negeri dengan kebutuhan industri. Menurutnya, plastik lokal yang dikoleksi sering tidak tersortir dengan baik sehingga sulit diproses lebih lanjut.

“Di Indonesia saat ini kesulitan terbesarnya adalah plastik-plastik itu tidak terkolek dengan baik dan tidak tersortir. Kalau sudah bisa dikolek dan disortir, itu akan menjadi bahan baku. Tapi kalau tercampur, ya jadinya sampah,” jelas Justin, saat ditemui usai acara Forum Group Discussion (FGD) terkait pelaksanaan Diseminasi Awal Kajian Supply – Demand dan Tata Kelola Bahan Baku Industri Daur Ulang Plastik di Indonesia, di Park Hotel Cawang, Jakarta, Senin (8/9/2025).

Ia menambahkan, kebutuhan bahan baku daur ulang semakin mendesak karena konsumen global kini menuntut produk dengan kandungan recycle content.

“Potensinya besar sekali. Namun karena bahan baku terbatas, industri daur ulang seperti sedang ‘berburu di kebun binatang’. Share bahan bakunya sedikit, tapi direbutkan banyak orang,” ujarnya.

Pemerintah sendiri mengakui adanya tantangan dalam pemenuhan bahan baku industri daur ulang. Eripson M.H Sinaga, Asisten Deputi Pengembangan Industri Agro, Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenko Perekonomian, menjelaskan perbedaan kualitas bahan baku lokal dan impor.

“Kalau bahan baku dari luar negeri, tingkat impurities-nya di bawah 2%. Sementara yang di dalam negeri itu di atas 70%. Sehingga sulit untuk diproses lebih lanjut,” kata Eripson.

Baca Juga: Upaya Mendukung Circular Economy, BCA Daur Ulang 12,2 Ton Limbah Seragam