Triple Planetary Crisis atau perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya mengancam keberlanjutan pembangunan, tetapi juga mengganggu hidup jutaan manusia di seluruh dunia.

Salah satu dampak nyata dari perubahan iklim adalah meningkatnya curah hujan ekstrem yang memicu risiko banjir dan bencana hidrometeorologis lainnya. 

Baca Juga: Kolaborasi barenbliss dan Hearts2Hearts: Promo Shopee Banjir Diskon dan Photocard Spesial!

Baca Juga: Iklim Investasi Bisa Rusak Gara-Gara Ancaman Bahlil ke SPBU Swasta

Menyikapi kondisi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) bekerja sama dengan The Japan Council of Local Authorities for International Relations (J.CLAIR Singapore) menyelenggarakan Webinar Indonesia-Japan Knowledge Exchange Seminar 2025 bertajuk “Cooperation between Local Governments/Organisations in Solving Local Issues” secara daring, Selasa (28/10).

Kepala LAN, Dr. Muhammad Taufiq, DEA, dalam sambutannya menyebutkan bahwa perubahan iklim, krisis air, urbanisasi yang cepat, dan penurunan kualitas lingkungan bukan hanya isu daerah, tetapi juga tantangan kemanusiaan. Di Indonesia, pemerintah daerah memegang peran strategis dalam menjawab isu-isu tersebut. Kebijakan desentralisasi telah memberikan kewenangan besar kepada daerah untuk menciptakan kebijakan yang inovatif dan adaptif, terutama dalam menyikapi perubahan iklim dan permasalahan lingkungan.

“Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan kapasitas ASN dan tata kelola pemerintahan, LAN terus memperkuat kemitraan dengan berbagai negara, termasuk Jepang. Kerja sama dengan J.CLAIR Singapore telah menjadi salah satu bentuk knowledge partnership yang paling produktif, mempertemukan para pemimpin daerah, akademisi, dan praktisi kebijakan publik dari kedua negara untuk belajar dan berinovasi bersama,” ungkapnya.

Muhammad Taufiq menegaskan, kerja sama antar pemerintah daerah dan antar negara menjadi pilar penting dalam membangun pemerintahan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Kolaborasi bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap berbagai risiko dan perubahan.

“Berkaca dari kota Tokyo dan Yokohama di Jepang, kita dapat belajar pengelolaan lingkungan dan penanggulangan bencana melalui tata kelola yang terencana, kolaboratif, dan berkelanjutan. Kekuatannya terletak pada kolaborasi antara pemerintah lokal, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Sementara dari pemerintah daerah di Indonesia seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Bali, kita melihat semangat yang sama: membangun kota yang tangguh melalui partisipasi masyarakat dan inovasi daerah,” ujarnya.

Senada dengan hal tersebut, Deputy Director International Affairs Office, Ministry of Internal Affairs and Communications Japan, Ms. Hara Shizuko menyampaikan, “Melalui forum Indonesia–Japan Exchange ini, kita tidak hanya membangun transfer of knowledge, tetapi juga mendorong co-creation of ideas untuk menciptakan solusi bersama yang kontekstual, berakar pada kearifan lokal, namun berpandangan global. Dalam hal ini, apa yang dilakukan kedua negara bisa menjadi pembelajaran dan gagasan bagaimana mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan,” tambahnya.

Sebagai praktiknya, dari Jepang, Kepala Dinas Perencanaan dan Teknis Badan Pengembangan Kota Tokyo Metropolitan Government, Mr. Kitaura Ken, memaparkan strategi “Basic Policy on Heavy Rainfall Countermeasures” yang diterbitkan pada Desember 2023. Tokyo mengembangkan lima langkah utama untuk menghadapi hujan ekstrem, antara lain peningkatan sistem drainase, pengelolaan sungai, pengendalian daerah aliran sungai, pembangunan infrastruktur hijau, serta sistem evakuasi dan informasi risiko.

Sementara itu, dalam pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Direktur Dukungan Kegiatan Lingkungan Dinas Taman dan Ruang Hijau Kota Yokohama, Katauke Akira, menekankan pentingnya Basic Plan for Water and Green Spaces yang berfokus pada tiga pilar: melindungi hutan untuk generasi mendatang, menciptakan ruang pertanian produktif dan berkelanjutan, serta menumbuhkan ruang hijau perkotaan yang menjadi tempat masyarakat berinteraksi.

Dari Indonesia, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, memaparkan kebijakan daerah terkait pengendalian alih fungsi lahan serta gerakan Leuweung Hejo untuk pelestarian hutan dan lingkungan. Program ini mengintegrasikan pelestarian hutan ke dalam kegiatan instansi pemerintah, dunia usaha, pendidikan, dan masyarakat, dengan aksi nyata seperti penanaman pohon, perlindungan mata air, dan pemulihan lahan kritis.

Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Ericson, menjelaskan langkah mitigasi banjir melalui pembangunan embung, saluran pengendali air, pengerukan waduk, serta pengembangan sistem sub-polder di titik-titik genangan. Jakarta juga menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, yang memperkuat koordinasi antar-OPD dalam menghadapi curah hujan ekstrem dan potensi banjir.

Selain berbagi praktik kebijakan daerah, seminar ini juga menyoroti hubungan sister city antara Desa Mas (Bali, Indonesia) dan Kota Misato (Prefektur Shimane, Jepang) yang telah terjalin sejak tahun 1991. Kerja sama ini berkembang dari pertukaran budaya dan kerajinan menjadi kolaborasi di bidang pendidikan, ekonomi, dan pelatihan tenaga kerja.