Dalam menjalankan pekerjaannya, ia selalu berupaya memahami maksud di balik instruksi yang diberikan.

“Saya putar ulang di kepala saya, apa sebenarnya yang dimaksudkan bos saya. Saya coba tempatkan diri saya di posisi atasan saya, memahami tekanan atau risiko lain yang mungkin sedang ia hadapi,” jelasnya.

Perbedaan pendapat dengan atasan adalah hal biasa. Namun bagi Editha, yang lebih penting adalah bagaimana perbedaan itu dijembatani. Ia memilih pendekatan reflektif dan komunikatif: memberi waktu sejenak sebelum menyampaikan kembali idenya dengan sudut pandang yang lebih relevan bagi sang atasan.

“Itu seringkali memberikan hasil yang jauh lebih baik karena kami sama-sama berangkat dari niat menjaga kepentingan Perusahaan,” tuturnya.

Sikap yang sama ia terapkan saat memimpin timnya sendiri. 

"Saya berusaha memperlakukan tim saya sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh atasan saya,” ungkapnya.

Hal-hal yang ia tidak sukai saat menjadi bawahan, sebisa mungkin tidak ia terapkan dalam gaya kepemimpinannya. Namun, ia menyadari bahwa menjadi pemimpin yang ideal adalah proses yang terus berjalan.

“Saya juga masih belajar. Ini perjalanan panjang. Hidup itu pembelajaran yang tak pernah berhenti,” ujarnya.

Desiree pun menutup dengan satu prinsip penting, yakni menyatukan visi bersama, baik saat memimpin ke atas (manage up) maupun ke bawah (manage down), adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang saling menghargai dan produktif.

“Dan itu hanya bisa dicapai jika setiap individu bersedia menurunkan egonya, apapun gendernya,” tandas Desiree.

Baca Juga: Optimis di 2025, Zurich Kembali Luncurkan Produk Terbaru Proteksi Jangka Panjang ZIAP