Tim Kuasa Hukum pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka optimis Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak gugatan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN)
Optimisme kubu Prabowo-Gibran itu muncul setelah menyimak pernyataan sejumlah ahli dan belasan saksi yang dihadirkan kubu AMIN dalam sidang lanjutan yang digelar Senin (1/4/2024).
Kendati ahli dan saksi kubu AMIN sudah panjang lebar memberi penjelasan dalam sidang tersebut, namun bagi kubu Prabowo-Gibran penjelasan mereka tak cukup kuat untuk dijadikan bukti. Bahkan pernyataan ahli dan saksi dinilai banyak yang relevan dengan isi gugatan kubu AMIN.
Baca Juga: Kubu Anies-Muhaimin: Pemilu 2024 Mengalami Disfungsi Elektoral
“Menurut kami, saksi dan ahli yang dihadirkan itu tidak menerangkan apa-apa. Hanya ngomong saja, dan tidak begitu relevan untuk dijadikan bukti di sebuah persidangan. Oleh karena itu kami berkeyakinan, dari pernyataan-pernyataan itu, MK akan menolak," kata Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta dilansir Olenka.id Selasa (2/4/2024).
Yusril menegaskan, penjelasan semua ahli dan saksi yang diboyong kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar kurang berbobot. Tak ada yang istimewa dari penjelasan mereka. Yusril menilai tim hukum kubu ini telah gagal meyakinkan para pengadil MK.
"Dari semua saksi dan ahli yang dihadirkan di sini sudah kami simak baik-baik. Kami juga sudah ajukan pertanyaan yang cukup tajam kepada mereka, jadi pada prinsipnya mungkin tidak (akan dikabulkan hakim). Bukan sesuatu yang luar biasa dari keterangan saksi dan ahli," ujarnya.
Boyong 7 Ahli dan 11 Saksi
Kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memboyong 7 ahli dan 11 saksi dalam lanjutan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden tahun 2024 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (1/4/2024).
Salah satu dari 7 ahli yang dihadirkan adalah tokoh oposisi sekaligus ekonom senior Faisal Basri, kemudian ada Ahli Ilmu Pemerintahan Bambang Eka Cahya, Ahli Hukum Administrasi Ridwan, Ekonom UI Vid Adrison, Kepala Pusat Studi Forensika Digital (PUSFID) UII Yogyakarta Yudi Prayudi, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, dan Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan.
Kemudian 11 saksi itu adalah Mirza Zulkarnain, Muhammad Fauzi, Anies Priyoasyari, Andi Hermawan, Surya Dharma, Achmad Husairi, Mislani Suci Rahayu, Sartono, Arif Patra Wijaya, Amrin Harun dan Atmin Arman.
"Berdasarkan catatan yang disampaikan kepaniteraan pemohon I mengajukan tujuh ahli dan 11 saksi," kata Ketua MK Suhartoyo
Menyoal Kehadiran Gibran
Dalam sidang lanjutan itu, Ahli Hukum Administrasi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan menyoal pencalon Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.
Menurutnya pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo itu menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto menyalahi berbagai aturan. Pencalonan Gibran tidak sah.
"Pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam perspektif hukum administrasi, saya menyimpulkan itu tidak sah," kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, pencalonan Gibran tidak sah lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika membuka pendaftaran capres/cawapres masih menggunakan peraturan nomor 19 tahun 2023 yang menyatakan batas usia capres/cawapres minimal 40 tahun.
"Ini yang saya aneh dari perspektif saya sebagai ahli hukum administrasi, adalah pada konsiderans menimbang huruf a, di sana disebutkan untuk melaksanakan pasal 52 ayat 1 PKPU nomor 19 tahun 2023 padahal keputusan tentang penetapan pasangan peserta pemilu itu diterbitkan tanggal 13 November," ujarnya.
Baca Juga: Sidang Sengketa Pilpres, Kubu Anies-Muhaimin Soroti Pencalonan Gibran
Adapun pendaftaran capres/cawapres dibuka sejak 19 hingga 25 Oktober 2023. Setelah pendaftaran Gibran, peraturan 19/2023 kemudian dihapus dan Gibran dinyatakan lolos sebagai cawapres.
"Peraturan KPU itu sudah diubah pada tanggal 3 November, kok masih dijadikan dasar pertimbangan menimbang, konsiderans menimbang, itu secara hukum administrasi tidak tepat karena tidak berlaku, mestinya yang menjadi pertimbangan adalah UU yang baru, peraturan yang baru," ucapnya.