Di balik gemerlap pencakar langit, gedung-gedung megah, dan nama besar Ciputra Group yang menjadi salah satu ikon properti Indonesia, tersimpan sosok yang sangat menyadari keterbatasan dirinya sendiri, yakni Ir. Ciputra.

Banyak orang mengenal beliau sebagai pengusaha sukses, visioner, dan pionir di industri properti. Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa di balik keberhasilan yang luar biasa itu, ia memegang satu keyakinan yang tak tergoyahkan, yakni semua berasal dari Tuhan.

“Berkata-katalah seperti ini pada saya, dan saya akan tertawa. ‘Semua pencapaian saya datang karena saya bekerja keras. Karena saya telah berjuang.’ Saya akan tertawa mendengar itu,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Rabu (30/7/2025).

Sebagai pribadi yang dikenal logis dan realistis, Ciputra tak pernah menampik pentingnya kerja keras dan ketajaman berpikir. Ia terbiasa dengan perhitungan matang, strategi bisnis, dan intuisi tajam yang membuat proyek-proyeknya nyaris selalu berhasil. Namun, di atas semua itu, ia percaya bahwa pencapaian yang sejati tak lahir hanya dari kekuatan manusia.

“Mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa segala yang kita capai adalah karena kita makhluk yang istimewa, yang memiliki kepintaran ekstra dan kemauan untuk berjuang. Kita berpikir bahwa diri kita lah sumber kekuatan itu. Manusia mampu karena ia powerful. Kita sering lupa satu hal. Kita tak akan memiliki apa pun di dunia jika Tuhan tak menghendaki,” tegasnya.

Ciputra tahu betul bahwa kepintaran, keberanian mengambil risiko, dan daya tahan menghadapi kegagalan adalah anugerah, bukan semata hasil usaha pribadi. Ia menyadari bahwa di tengah strategi yang rasional, tetap ada ruang bagi mukjizat, bagi tangan-tangan tak terlihat yang membimbing dan menjaga.

“Segalanya berasal dari Tuhan. Ciputra tidak akan punya kepintaran, tidak akan punya bakat, tidak akan bisa mencetak pencapaian, tidak akan mampu bertahan ketika jatuh jika Tuhan tidak menghendaki,” ungkapnya tulus.

“Dia punya kuasa memberi, dan juga mencabut. Saya mempercayai upaya-upaya logis dan realistis, dan pada saat yang bersamaan saya juga percaya mukjizat yang mungkin terdengar absurd bagi telinga orang-orang yang berpikiran logis,” sambung Ciputra.

Baca Juga: Filosofi Sukses Ciputra di Balik Ciputra Group: Jangan Pernah Kejar Kekayaan

‘Iman Saya Ditumbuhkan oleh Waktu dan Peristiwa’

Kebanyakan, seseorang tatkala di usia senja banyak yang mulai memperlambat langkah, mengendapkan makna dari masa lalu, dan meninjau ulang apa yang telah dilalui. Begitu pula yang dialami Ciputra.

Namun, di balik jejak langkahnya yang panjang dalam membangun kota dan menciptakan landmark di berbagai penjuru negeri, Ciputra nyatanya menyimpan perenungan yang jauh lebih dalam daripada sekadar batu bata dan rencana bisnis.

“Semakin bertambah usia, semakin banyak renungan yang bermain-main di kepala. Sering saya membayangkan kembali sepak terjang saya di masa lalu. Menyimak lagi bagaimana saya berjalan dari satu tantangan ke tantangan lainnya. Apa yang saya dapatkan? Saya menyadari banyak keajaiban. Sesuatu yang tidak bisa diurai oleh otak logis saya,” ungkap Ciputra.

Keajaiban yang dimaksud Ciputra bukanlah keberuntungan kosong atau kebetulan semata. Ia menyebutnya dengan satu kata yang sederhana, namun sarat makna: mukjizat.

“Itulah yang namanya mukjizat. Datangnya dari mana? Dari Tuhan. Perjalanan hidup dan karier saya pada akhirnya juga menumbuhkan sesuatu yang terus menguat. Iman,” tegasnya.

Perjalanan hidup Ciputra tidak hanya membentuk insting bisnis dan keberanian berinovasi, tetapi juga menumbuhkan akar spiritualitas yang kuat. Bagi dia, iman tidak datang dalam sekejap.

Ciputra mengaku dirinya tidak tumbuh hanya karena mendengar khotbah atau membaca satu-dua buku. Iman tumbuh seiring pengalaman hidup yang keras, perjalanan panjang yang menguji, mengguncang, sekaligus menguatkan.

“Saya bersyukur kekuatan iman saya tidak dibentuk oleh keyakinan yang datang tiba-tiba. Perjalanan hidup saya mengajari saya iman. Kerasnya kehidupan telah mengajari saya kepercayaan akan kekuatan Tuhan. Dan seiring waktu berjalan, semakin kuat keyakinan saya bahwa Tuhan-lah di balik segala yang terjadi di hidup ini,” papar Ciputra.

Sebagai sosok yang terkenal rasional dan penuh perhitungan, Ciputra tidak menolak peran logika. Ia bahkan menyusun setiap rencana bisnisnya dengan sangat detail dan realistis. Namun, ia juga meyakini bahwa di atas semua usaha manusia, tetap ada kehendak ilahi yang tak bisa diabaikan.

“Ketika Tuhan punya kehendak, segala yang telah saya persiapkan dengan matang sekalipun bisa meleset,. Semua bangunan yang dibuat perusahaan saya tidaklah akan bisa terjadi jika tidak ada restu Tuhan,” terangnya.

Ciputra tidak pernah menampik pentingnya kerja keras dan prestasi. Namun, ia juga tidak membiarkan egonya menutupi fakta bahwa semua keberhasilan bersumber dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

“Saya adalah orang yang bangga akan prestasi dan kerja keras. Tapi di sisi lain, saya juga setuju bahwa semua ini bukan berasal dari saya, tapi dari Tuhan,” katanya dengan jujur.

Dalam berbagai diskusi, Ciputra sering memperdebatkan soal ini dengan mereka yang terlalu mengagungkan kejayaan manusia. Baginya, keberhasilan bukanlah puncak dari kehebatan pribadi, melainkan hasil dari kombinasi antara upaya dan restu ilahi.

“Kepercayaan saya kepada Tuhan, iman saya, ditumbuhkan oleh waktu dan peristiwa. Sekolah kehidupan saya bergulir beriringan dengan pertanyaan-pertanyaan saya tentang keberadaan Tuhan, dan perasaan itu akhirnya tumbuh dan terus tumbuh semakin kuat. Iman,” tuturnya.

Baca Juga: Dari Mimpi Jadi Mahakarya, Kisah Perjalanan Ciputra Membangun ‘Orchard Road’ Jakarta

Warisan Iman dari Balik Jeruji

Di balik kemegahan Ciputra Group dan reputasi Ciputra sebagai maestro properti Indonesia, tersimpan kisah pribadi yang mendalam tentang keajaiban, kehilangan, dan kekuatan iman. Sebuah cerita tentang bagaimana hidup yang penuh perhitungan dan logika bisa luluh oleh pengalaman spiritual yang tak bisa dijelaskan akal manusia.

Ciputra sendiri bukanlah sosok yang gemar membalut hidupnya dengan romantisme. Ia dikenal rasional, terukur, dan penuh strategi. Namun, dalam momen reflektifnya, ia tak menampik betapa besar peran kuasa Tuhan dalam perjalanan hidupnya.

“Keajaiban, mukjizat, karunia, atau apa pun namanya itu telah mengajari saya tentang kekuatan iman. Berbagai peristiwa dalam hidup saya telah meyakinkan saya bahwa Tuhan itu ada. Banyak hal yang secara logika sungguh sulit dipercayai terjadi. Penyertaan dan campur tangan Tuhan sungguh luar biasa dalam hidup saya,” paparnya.

Dikatakan Ciputra, salah satu kisah paling membekas dalam hidupnya datang dari masa kecilnya yakni saat ayahnya, seorang pria sederhana dari Desa Bumbulan ditangkap oleh polisi Jepang di masa penjajahan.

Sejak saat itu, kata dia, sang ayah tak pernah kembali, dan keluarganya tak pernah tahu secara pasti nasibnya. Hingga suatu hari, bertahun-tahun kemudian seorang saksi mata yang pernah ditahan bersama sang ayah menceritakan kisah yang mengguncang jiwa Ciputra kecil.

“Ketika saya kecil, Papa ditangkap polisi Jepang dan kemudian nasibnya tak kami ketahui hingga ajalnya. Seorang pria dari Desa Bumbulan, yang juga ditangkap bersama Papa, mengetahui nasib Papa dan menceritakannya kepada kami,” ujar Ciputra.

“Ia berkisah bahwa Papa sebenarnya hampir mati tenggelam. la sengaja bunuh diri dengan melompat ke laut dari perahu yang membawa dirinya. Tapi di detik terakhir, ketika napasnya hampir habis, ia justru diselamatkan kembali oleh polisi,” beber Ciputra.

Peristiwa itu menjadi titik balik spiritual bagi sang ayah. Dalam kesendirian dan penderitaan di dalam penjara, sang ayah yang sebelumnya tak pernah dikenal religius, mulai berdoa.

Menurut saksi tersebut ia berubah menjadi pribadi yang tekun memanjatkan doa-doa, menggenggam erat keyakinan baru bahwa Tuhan sungguh ada karena hidupnya telah diselamatkan oleh kuasa yang tak kasat mata.

“Kisah itu pun sangat menginspirasi saya. Saya tahu betul, Papa tidak terlalu kuat dalam beribadah. Ia tidak pernah membicarakan tentang Tuhan. Ia tidak pernah mengajari kami tentang apa itu Tuhan dan apakah kami harus mempercayainya. Tanpa harus dikatakan, saya tahu Papa mungkin tidak mempercayai keberadaan Tuhan,” terang Ciputra.

“Ia percaya bahwa ada keajaiban misterius yang menyelamatkan hidupnya, dan sejak saat itu, papa menjadi seorang pendoa yang tekun di penjara,” lanjut Ciputra.

Yang membuat cerita ini begitu menyentuh bagi Ciputra adalah kenyataan bahwa sang ayah semasa hidupnya hampir tak pernah membicarakan tentang Tuhan, apalagi mengajarkan tentang keimanan. Namun, justru dalam penderitaan terdalamnya, sang ayah menemukan kedamaian lewat iman.

Bagi Ciputra, gambaran ayahnya yang berdoa dalam kedinginan dan gelapnya penjara menjadi fondasi spiritual yang mengakar dalam. Ia membayangkan sang ayah yang sedang memanjatkan doa-doa, bukan dalam harapan untuk bebas, tapi demi merasakan damai dan kekuatan dari Tuhan yang ia kenal di titik nadir hidupnya.

“Benak saya membayangkan bagaimana Papa yang terpenjara dalam jeruji besi yang dingin, gelap dan lembab, dikuatkan lewat doa-doa yang terus dipanjatkan. Bagaimana ia tetap bersemangat karena merasa Tuhan tengah memeluknya,” ungkapnya.

Dari kisah itu, Ciputra belajar bahwa iman bukanlah sesuatu yang diwariskan lewat kata-kata, melainkan lewat pengalaman nyata yang mengubah hati. Ia percaya bahwa iman adalah akar yang tumbuh melalui penderitaan, pencarian, dan pengakuan akan keterbatasan manusia.

Baca Juga: Kisah Ciputra Membangun Citraland Sambil Mencetak Pemimpin Tangguh dari Keluarga

Jejak Iman yang Tumbuh dari Penjara hingga Gereja Kecil di Kampung

Di balik kisah sukses Ciputra membangun imperium properti Indonesia, tersimpan kisah pribadi yang sunyi namun menggetarkan, yakni tentang pencarian makna, perjumpaan dengan iman, dan bagaimana sebuah doa dari balik jeruji penjara sang ayah menjadi nyala kecil yang menuntunnya mengenal Tuhan.

Semuanya bermula dari satu cerita yang datang bertahun-tahun setelah sang ayah pergi dan ditangkap oleh polisi Jepang di masa penjajahan dan tak pernah kembali. Hingga suatu hari, seorang pria yang pernah dipenjara bersama ayahnya datang membawa kabar dan kenangan.

“Ayahmu selalu berdoa setiap malam dan kalimat-kalimat doanya sungguh indah. Ia percaya ia diselamatkan. Ia juga terus memohon pengampunan. Ia percaya Tuhan ada dan oleh karenanya, ia tidak pernah berputus asa,” tutur Ciputra seraya menirukan ucapan orang lain kepadanya.

Bagi Ciputra muda, itu bukan sekadar kabar tentang masa lalu. Itu adalah titik awal sebuah kebangkitan batin.

“Papa telah tiada saat itu, tapi saya percaya ia wafat dalam kelegaan karena ia telah mengenal dan mempercayai Tuhan. Itulah ajaran spiritual pertama yang menyengat diri saya,” ungkapnya lirih.

Ia pun mulai mengembara, bukan dengan langkah kaki, melainkan dengan hati yang ingin tahu. Ia tidak langsung duduk di bangku sekolah teologi atau membaca kitab-kitab besar. Justru ia belajar dari alam dan dari percakapan sederhana.

Dijelasakannya, teman-teman berburunya dari Sangir Talaud dan Minahasa menjadi guru pertamanya. Mereka bercerita dengan hangat tentang Yesus yang disalib untuk menebus dosa manusia.

“Saya tekun mendengarkan mereka. Kisah yang mereka ungkapkan begitu nikmat didengar dan saya terhanyut,” kenangnya.

Tak lama kemudian, ia mulai membuka lembaran Alkitab. Lalu, untuk pertama kalinya, ia melangkah masuk ke sebuah gereja kecil di kampung. Tak banyak yang ia pahami dari khotbah sang pendeta.

Tapi, Ciputra tetap duduk di sana, termangu dalam sunyi, mendengarkan suara doa yang bergema, sambil memandangi kakinya yang telanjang dan luka karena sering berlari tanpa alas kaki di hutan.

“Saya mendengarkan saja orang-orang bernyanyi dan pendeta berkhotbah. Saya tidak mengerti apa yang ia katakan. Tapi saya mendengarkan terus. Saya ada di tengah dengung suara orang berdoa sambil memandangi kaki saya yang telanjang dan penuh luka akibat sering berlari tanpa alas kaki di hutan saat berburu. Katanya, agama akan memperbaiki hidup seseorang. Barangkali juga bisa mengubah wajah hidup kami,” pikirnya waktu itu.

Setelah pindah sekolah ke Gorontalo dan kemudian Manado, pencarian itu menjadi semakin dalam. Ia mulai rajin ke gereja. Seorang pendeta membimbingnya, dan dari sanalah ia membentuk kelompok doa kecil yang kelak menjadi cikal bakal komunitas gereja.

“Saya mulai menemukan kebahagiaan di dalam beribadah. Kebersamaan. Saling mengucapkan harapan baik. Melantunkan doa-doa indah. Dan, bernyanyi. Saya mulai merindukan datangnya hari Minggu dan bersiap sepenuh hati sejak pagi hari untuk datang ke gereja,” kata Ciputra.

Namun di masa itu, ia belum mengerti sepenuhnya apa manfaat dari semua yang ia jalani selain rasa bahagia yang muncul sepulang dari gereja. Ia hanya terus berjalan, mengikuti irama suara hati yang lembut. Baru ketika ia mulai mendalami firman Tuhan, pelan-pelan ia menemukan pencerahan.

“Perlahan-lahan, seiring dengan semakin seringnya saya mengikuti pedalaman iman dan mengenal firman-firman dalam Alkitab, saya mulai menemukan hal-hal yang menguatkan. Bahwa keyakinan kita kepada Tuhan akan menegarkan dan memperkokoh visi serta langkah kita di dunia,” terangnya.

Dan semua itu akhirnya diuji, tak hanya dalam kesunyian atau perenungan, tapi di tengah badai besar, yakni krisis moneter 1998 yang mengguncang fondasi bisnisnya. Saat itulah, kata Ciputra, segala yang selama ini dibangun dengan kerja keras dan ketekunan diuji oleh gemuruh kenyataan.

“Bukti bahwa seorang pengusaha yang dianggap sukses adalah manusia lemah terlihat ketika badai krismon datang. Saya akan kisahkan momen yang penuh luka itu,” tukas Ciputra.

 Baca Juga: Kisah Lahirnya BSD City dan Peran Menantu Ciputra yang Bercahaya