Direktur Utama PT Blue Bird Tbk, Adrianto Djokosoetono, membagikan perjalanan kariernya di perusahaan keluarga Djokosoetono, sebuah perjalanan yang diwarnai pembelajaran lintas generasi, kritik, kegagalan, hingga kepercayaan.
Anak bungsu tiga bersaudara pasangan Purnomo Prawiro dan Endang Basukiini memulai kariernya dengan lebih banyak mendengarkan generasi pendahulu di Blue Bird.
Namun, ia tidak menutupi bahwa pada masa awal ia bekerja, sifatnya jauh lebih keras kepala dan kurang sabar dalam menerima masukan.
“Waktu saya lebih muda, saya lebih banyak mendengar. Tapi jujur, saya pun dulu lebih nggak sabar. Ini bukan soal Gen Z, Gen Millennial, atau Gen X. Memang kalau lebih muda, kita lebih nggak sabar untuk belajar,” ungkap Adrianto, dalam sebuah video sebagaimana dikutip Olenka, Minggu (23/11/2025).
Seiring waktu, suami dari Titi Radjo Padmaja atau yang sebelumnya dikenal dengan Titi Radjo Bintang inimenyadari bahwa kritik bukanlah beban, melainkan bahan bakar untuk perbaikan.
Ia pun belajar memahami cara berpikir generasi sebelum dirinya dan bagaimana perbedaan itu seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang.
“Semakin mature, saya mengakui bahwa kritik itu something I need to fix, bukan ‘lu salah lagi, salah lagi’. Time membuat kita lebih mengerti bagaimana orang tua kita, kakek nenek kita berpikir,” tukasnya.
Ia pun menekankan bahwa hal yang sama berlaku pada generasi yang lebih muda, termasuk Gen Z hingga generasi ‘strawberry’, yang juga memiliki cara pandang berbeda.
Adrianto mencontohkan hal kecil yang menggambarkan perubahan mindset saat ia masih muda.
“Kalau dulu gara-gara manager suruh pakai dasi, saya bilang, ‘Saya nggak perlu pakai dasi. Why would the manager have to wear tie?’,” papar Adrianto.
Baca Juga: Kisah CEO Blue Bird yang Tak Pernah Menghabiskan Jatah Cuti
Menurut Adrianto, setiap generasi pasti membawa pola asuh dan cara berpikir berbeda. Termasuk dirinya yang menurut sang ayah, memiliki karakter risk taker lebih besar.
“Bapak saya selalu bilang saya lebih risk taker dibandingkan beliau. Is that good or bad? I don’t know. Jadi saya belajar melakukan calculated risk, membatasi hal yang bisa jadi kelemahan agar berubah menjadi positif,” jelasnya.
Dalam perjalanan kariernya, lulusan Bentley College, Massachusetts, Amerika Serikat itu menyebut bahwa sosok sang ayah berperan besar sebagai mentor dan coach.
Adrianto mengatakan, pengalaman puluhan tahun yang dimiliki sang ayah menjadi berkah yang membentuk dirinya dalam memimpin dan mengembangkan perusahaan.
“Mentor itu penting. Bapak saya adalah mentor saya, coach saya. Dia punya pengalaman sekian puluh tahun, jatuh bangun perusahaan. Saya pun dididik sama,” ungkap Adrianto.
Menurutnya, salah satu pelajaran terpenting yang ia terima adalah kepercayaan untuk jatuh dan bangun kembali. Dalam banyak kesempatan, sang ayah membiarkannya mengambil keputusan sendiri, bahkan keputusan yang berujung pada kegagalan.
“Saya dikasih kepercayaan untuk jatuh bangun perusahaan. Saya lebih banyak perusahaan yang saya buat bangkrut dibandingkan yang saya buat untung,” kata Adrianto.
Namun, alih-alih menyalahkan, sang ayah selalu menanggapi kegagalan Adrianto dengan satu pertanyaan sederhana tetapi kuat.
“But that’s it. Setiap kali saya gagal, bapak saya cuma bilang ‘What did you learn?’,” tandas Adrianto.
Baca Juga: Mengenal Adrianto Djokosoetono, Generasi Ketiga Pendiri Bluebird Group