Pendiri Mayapada Group yang juga seorang filantropis negeri, Dato Sri Tahir, bercerita tentang pertama kali dirinya masuk ke keluarga besar Riady yang memiliki budaya keluarga yang berbeda. Yakni, saat dia menikahi Rosy Riady, putri pendiri Lippo Group, Mochtar Riady. 

Menurut Tahir, filosofi Tionghoa begitu kental terasa dianut keluarga Mochtar Riady. Diantaranya, mengutamakan anak laki-laki. Sedangkan Tahir dibesarkan dengan ajaran Barat yang mengedepankan kesetaraan.

Menurutnya, budaya yang ada di keluarga besar Mochtar Riady tidak salah, karena itu adalah pilihan gaya hidup mereka sendiri. Namun, sampai saat ini pun, kata Tahir, dirinya merasa belum bisa melebur dengan budaya keluarga Riady.

Nah, ‘perjuangan’ Tahir untuk masuk ke keluarga sang taipan ini pun tidaklah mudah. Hal tersebut pun diungkapkan Tahir dalam buku karya Alberthiene Endah yang bertajuk Living Sacrifice. 

Dalam buku tersebut, Tahir bercerita bahwa minggu pertama setelah mendapat gelar menantu Riady, dirinya dilarang untuk bekerja di perusahaan keluarga Riady. Tahir, yang saat itu masih muda, lantas menjawab dan berjanji akan menjadi sosok yang hebat di kemudian hari.

Gak cuma itu, dalam buku biografinya itu pula, Tahir menceritakan soal dirinya yang sering ‘tak dianggap’ oleh mertua dan ipar-iparnya. Tak terkecuali dalam konteks bisnis.

Namun kini, Tahir mampu membuktikan kepada sang mertua bahwa ia tumbuh menjadi orang yang sukses, bahkan masuk ke dalam jajaran orang terkaya di Indonesia. Menurut laporan Forbes per September 2024 ini, kekayaan Tahir pun mencapai $5,4 miliar atau sekitar Rp83,4 triliun.

Lantas, seperti apa kisah Dato Sri Tahir di tengah keluarga Riady? Berikut Olenka ulas selengkapnya.

Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Tak Diizinkan Pakai Logo Bisnis Keluarga Riady

“Setiap Berkumpul dengan Keluarga Riady, Saya Selalu Tersiksa Secara Emosional”

Lahir dari keluarga yang sederhana, membuat Tahir merasa rendah diri saat berjodoh dengan putri sulung salah satu orang terkaya di Indonesia. Sepanjang pernikahannya dengan Rosy, Tahir mengatakan bahwa ia tidak pernah bisa terlepas dari penyesuaian diri dengan keluarga sang mertua.

Namun yang jelas, kata Tahir, meski ia menjadi menantu sang taipan, ia menegaskan bahwa dirinya sama sekali tak memikirkan uang dan kekayaan. Karena meski sedari kecil ia menjalani hidup susah, tapi ia dan keluarganya tetap memegang teguh harga diri yang tak tergoyahkan.

Saat pertama kali menjadi bagian dari keluarga Riady, kata Tahir, terasa ada pagar yang memisahkan karena budaya keluarga. Dia membayangkan ada pagar yang membatasi meskipun diundang oleh keluarga dari istrinya.

Tahir sendiri telah mendengar berbagai cerita tentang keluarga Riady dari istrinya sendiri, Rosy Riady. Namun menurutnya, pemahaman ia tentang keluarga ini menjadi lebih lengkap setelah ia mengalami sendiri keberadaannya di tengah-tengah keluarga sang taipan itu.

Menurut Tahir, ketika keluarga Riady berkumpul bersama, mereka tidak membicarakan tentang kesehatan, suka duka kegiatan mereka, kisah manis rumah tangga masing-masing, atau hal-hal lainnya. Namun, semua keluarga Riady justru membicarakan kesuksesan mereka dalam berbisnis masing-masing.

Biasanya, kata Tahir, keluarga Riady kerap berkumpul di sekitar meja besar atau di sofa ruang tamu dan sekadar mendengarkan bagaimana Mochtar Riady berbicara soal keberhasilannya.

“Pak Mochtar, Andrew, James, dan Stephen Riady itu selalu bercerita tentang perkembangan Lippo Group. Rencana mereka mengembangkan bisnis Lippo, dan lain sebagainya. Jujur saja, mereka memang hebat. Melihat mereka mengobrol membuat rasa percaya diri saya jatuh ke titik terendah,” ungkap Tahir.

Saat anggota keluarga Riady berkumpul, Tahir pun mengaku lebih memilih dia. Ia merasa sulit berkontribusi dalam obrolan. Tahir bilang, semua anggota keluarga Riady selalu asyik dan bersemangat membicarakan perkembangan berbagai bisnis keluarga sang taipan. Tak pelak, Tahir pun selalu merasa minder dan tak pernah menikmati momen kebersamaan itu.

“Setiap berkumpul dengan keluarga Riady, saya selalu tersiksa secara emosional. Saya tidak pernah menikmati kebersamaan dengan mereka. Terkadang, saya harus duduk terpaku dengan ekspresi yang dibuat-buat agar terlihat ramah saat mendengarkan obrolan mereka. Pak Mochtar dan anak-anaknya mendominasi arena diskusi. Dan saya beberapa kali ikut nimbrung pun serasa tak dianggap,” papar Tahir.

Belakangan, Tahir pun menyadari jika anak laki-laki Mochtar Riady yang tak tertarik bisnis hanyalah Andrew Riady. Menurutnya, Andrew selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Andrew ibarat sang pemikir bebas. Dia tidak terlalu hanyut dalam pembicaraan bisnis seperti ayah dan 2 saudara laki-lakinya yang lain.

“Andrew itu cenderung menghilang. Adakalanya hanya tiga musketeers yang semangat membicarakan bisnis. Mereka adalah Pak Mochtar, James, dan Stephen Riady. Jika mereka bertiga ada di tempat yang sama, maka Andrew akan berada di tempat lain,” jelas Tahir.

Meski dirinya tak nyaman berada di tengah-tengah keluarga sang istri, Tahir merasa tidak pernah tersiksa akan hal itu. Alasannya, karena ada seorang pria yang selalu menjadi teman baiknya, yang selalu menerima dan mendukung dirinya, yakni Mediarto.

Tahir menuturkan, betapapun hebatnya keluarga sang mertua, sayangnya ia merasa sulit berbaur secara alami. Alasannya adalah karena perbedaan budaya yang menyelimuti keluarga besar Riady itu. Kata Tahir, perbedaan dirinya dengan keluarga Riady ibaratnya seperti surga dan bumi.

“Saya cuma menantu yang ditempatkan di kotak tersendiri. Bukan hanya Pak Mochtar yang menetapkan batasan itu, tapi anak-anaknya juga demikian. Mau gak mau saya harus sadar diri. Ibaratnya, saya berada di tengah-tengah keluarga sangat kaya dalam hal mataeri, tetapi ‘miskin’ kehangatan kekeluargaan,” ujar Tahir.

Baca Juga: Mengulik Peran Keluarga Tahir di Pohon Bisnis Mayapada Group

Meski ‘Tak Dianggap’, Tahir Tetap Menghormati Keluarga Mertua

Tahir menuturkan, meski keberadaan dirinya ‘tak dianggap’ oleh keluarga Mochtar Riady, namun ia sama sekali tak pernah membenci ipar-iparnya dan mertuanya. Justru ia sangat-sangat menghormatinya. Bagi Tahir sendiri, mertuanya tersebut adalah seorang ahli, superstar, dan seorang maestro yang layak untuk dikagumi dan dihormati.

“Keluarga Mochtar Riady adalah keluarga yang sukses dan luar biasa. Jadi, saya dengan mentalitas anak desa yang kuat, saya akan berjuang untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Jujur, perbedaan keluarga ini membuat saya tersandung dalam ujian mental yang berat,” tukas Tahir.

Tahir menuturkan, jika ada yang bertanya kepadanya, bagaimana posisi dia dalam keluarga Riady, maka kata ia akan menjawab bahwa ia merasa diremehkan. Tahir pun kerap merasa tak dianggap serius di keluarga mertuanya itu. Tidak pernah ada keramahan yang menyapa dirinya.

Namun meski begitu, kata Tahir, karena dirinya termasuk pemikir positif dan hidupnya mengajarkan bahwa seburuk apapun perlakuan orang kepada dirinya, itu tidak boleh merusak semangatnya sendiri. Jadi, ia pun bertekad untuk bekerja keras dan baik, dan tidak membiarkan hidupnya diganggu oleh perasaan negatif akibat perlakuan orang lain terhadapnya.

“Saya menjadi terbiasa untuk mematikan perasaan saya. Saya sudah terlatih dengan baik. Saya juga sudah mempersiapkan mental tiap kali diundang kumpul keluarga Riady. Saya selalu mencoba menikmati kata-kata dari pak Mochtar, yang akan saya gunakan untuk menyehatkan perasaan saya,” papar Tahir.

Dikatakan Tahir, ketika suasana berkumpul keluarga dirasa sudah ‘tidak nyaman’, sang ibu mertua Tahir, yakni Suryawati Lidya-lah biasanya yang selalu menyelamatkan keadaan.

Menurut Tahir, ibu mertuanya itu sama percis seperti Rosy, istrinya. Ia wanita yang serba bisa dan sangat cerdas. Sayangnya, kata Tahir, kebaikan hari ibu mertuanya itu tak dapat meredakan ketegangan situasi saat acara kumpul keluarga itu.

“Ibu Mochtar jelas berpendidikan tinggi. Ia selalu berbicara sopan, dengan tata krama yang baik. Saya memuji bagaimana ia menunjukkan kasih sayangnya kepada menantu perempuan dan laki-lakinya. Ia selalu menanyakan kehidupan rumah tangga saya,” ujar Tahir.

Tahir juga bilang, ibu mertuanya itu sangat perhatian kepadanya. Pada tahun 1987, ia pun pernah meminta Tahir untuk mendaftar program Magister. Alasannya, karena ia ingin semua menantunya bergelar Master. Gak cuma itu, kata Tahir, ibu mertuanya itupun menawarkan akan membiayai kuliahnya tersebut.

“Waktu itu saya menuruti permintaannya dan berhasil lulus dengan predikat summa cum laude,” ujar Tahir.

Baca Juga: Mengulik Kisah Dato Sri Tahir saat Memulai Bisnis Impor

“Saya Yakin Pak Mochtar Itu Sebenarnya Menyukai Saya”

Meski mengaku kerap merasa canggung berada di tengah keluarga besar Mochtar Riady, Tahir tak menampik bahwa ia sangat-sangat mengagumi sosok sang mertua. Ia pun tak segan menyebut Mochtar Riady sebagai orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hidupnya.

“Pak Mochtar adalah sumber dari sekolah kehidupan saya yang tidak dapat dipungkiri. Tidak ada hubungannya dengan harta. Dia memberikan pendidikan yang luar biasa dalam hidup saya. Dia juga telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan kepribadian saya sendiri,” papar Tahir.

Lebih lanjut, Tahir pun menceritakan lebih gamblang soal kekagumannya kepada sang mertua. Menurutnya, Mochtar Riady setiap harinya selalu berbicara dengan fasih, metodis, konseptual, berani dan cemerlang.

Tak terkecuali di rumah juga, ia selalu berpakaian seolah-olah sedang bertemu dengan orang yang sangat penting. Kata-katanya pun selalu dipersiapkan sangat baik, seolah-olah ia sedang menyampaikan pidato resmi.

Dari situlah Tahir pun makin menyadari bahwa mertuanya itu adalah seorang pengusaha multi-kapasitas. Saat ia hendak berbicara di depan forum pun, seorang Mochtar Riady tak pernah sekalipun meminta orang lain untuk menyiapkan teks pidatonya.

Mochtar Riady, kata Tahir, selalu berbicara murni dari hatinya dan pikirannya sendiri. Kalimat yang terlontar dari mulutnya pun sangat terformulasi dengan baik dan disampaikan dengan baik pula.

“Beliau selalu tampil memukau di berbagai seminar bisnis, berbicara di berbagai universitas bahkan sekelas Harvard sekalipun, juga kerap diundang ke forum ekonomi kelas dunia. Dia sangat disegani dan memiliki reputasi yang sangat baik. Dia benar-benar orang yang luar biasa,” tutur Tahir.

Tahir juga mengatakan, selain menjadi pebisnis andal, Mochtar Riady juga adalah seorang filsuf yang luar biasa. Kemampuannya dalam berfilsafat bisnis melampaui keterampilannya menyusun strategi.

Menurutnya pula, mertuanya itu bukanlah seorang ahli strategi atau eksekutor yang tak terkalahkan. Dunia, lanjut Tahir, akan mengetahui bahwa Lippo Group berhasil berkembang pesat berkat ide-ide cemerlang dari iparnya, yakni James dan Stephen Riady. Meski begitu, kata Tahir, Mochtar Riady-lah yang meletakkan fondasi untuk kesuksesan ini.

“Ia menjadi landasan kokoh dan sempurna bagi putra-putranya yang brilian itu untuk berkarya. Bersama-sama, ayah dan anak-anaknya itu membentuk tim yang solid yang berhasil membangun bisnis besar,” ujar Tahir.

Gak cuma mahir dalam bisnis, Mochtar Riady, kata Tahir juga adalah seorang politikus yang ulung. Mochtar Riady, lanjut Tahir, selalu dengan cerdas menyusun, mengatur, dan mengarahkan semua yang ia lakukan dan katakana untuk mencapai tujuan tertentu.

Terlepas dari itu, Tahir pun merasa, mertuanya itu sebenarnya sangat menyukai dirinya. Namun, ia juga sangat yakin bahwa mertuanya itu tak ingin reputasi Tahir melampaui reputasi anak-anak laki-lakinya itu.

“Sebenarnya, saya yakin Pak Mochtar itu menyukai saya. Tapi sepertinya, saya gak boleh lebih baik dari Andrew, James, dan Stephen. Oleh karena itu, saya harus tahu posisi saya. Itulah intinya. Hal itu terlihat jelas dari cara Pak Mochtar bersikap, menjawab pertanyaan saya, dan melakukan percakapan. Ia dengan jelas menekankan bahwa keluarganya (laki-laki) adalah yang lebih unggul,” papar Tahir.

Baca Juga: Momen Dato Sri Tahir Bergabung ke Keluarga Besar Riady

‘Garis Batas’ Antara Tahir dengan Ipar-iparnya

Seiring waktu, dalam kegiatan bisnisnya, Tahir pun akhirnya lebih mengenal karakter anak-anak Mochtar Riady. Tahir masih merasakan ada garis batas yang jelas, yang memisahkan dirinya dengan ipar-iparnya itu.

Kata Tahir, orang lain mungkin berpikir bahwa dia dan ipar-iparnya itu adalah tim yang solid dan harmonis, yang kerap menghabiskan banyak waktu yang berharga untuk mendiskusikan ide-ide bisnis yang cemerlang.

Namun, faktanya tak seperti itu. Hubungan Tahir dengan ipar-iparnya itu bersifat formal, bahkan seperti hubungan antara orang-orang yang tidak saling mengenal.

“Beberapa kali misalnya saya menelepon James, tapi dia tak pernah mengingatnya. Bagi saya, berarti panggilan itu gak penting bagi dia dan dianggap tidak layak untuk diperhatikan,” ujar Tahir.

“Lalu, suatu waktu saya pernah membuat janji bisnis dengan Stephen di Hong Kong, untuk memperkenalkannya dengan rekan bisnis saya. Dia datang 1 jam kemudian dan dengan singkat berkata di depan rekan bisnis saya itu, “Saya hanya punya waktu 10 menit untuk Anda.” Jujur, itu membuat saya malu,” sambung Tahir.

Tahir mengaku, ia tak bermaksud mengeluh atau protes akan sikap ipar-iparnya itu. Untuk beberapa saat, kata dia, hal itu hanya membuatnya bertanya-tanya apa artinya saya dalam keluarga ini.

Namun yang pasti, Tahir merasa, ia tak pernah merasakan rasa persaudaraan dengan anak laki-laki Mochtar Riady itu. Telebih, kasus terburuk adalah dalam hal konteks bisnis.

Baca Juga: Kekaguman Dato Sri Tahir pada Sosok Mochtar Riady