Kiprah Andy F Noya dalam dunia jurnalis tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya sebatas wartawan senior, Andy sukses dengan kariernya dan mendapatkan posisi penting di sejumlah media, mulai dari cetak hingga televisi. 

Bahkan, hingga saat ini Andy kerap dikenal sebagai ikon MetroTV. Ini lantaran program talkshow bertajuk Kick Andy yang sukses dipandunya hingga membuat nama Andy F Noya melambung ke pelosok Nusantara.

Sudah menyelami dunia wartawan saat duduk di bangku kuliah, siapa sangka, Andy justru sukses berkarier sebagai wartawan hingga beberapa kali menjadi pemimpin redaksi tanpa modal ijazah sarjana.

Diakui pria keturunan Ambon, Belanda, dan Portugis ini, ia begitu menikmati pekerjaannya. Jikalau banyak orang menganggap tugas sebagai beban, tidak dengan Andy. Justru, ayah tiga anak ini selalu menanti tugas-tugas yang diberikan atasan.

“Walaupun nggak sarjana, kenapa aku bisa memimpin? Karena ketika aku mendapat tugas, orang lain merasa itu beban. Aduh, aku sudah satu penugasan cukup, masa ditambah lagi? Yaudah dua, cukup ya. Kalau aku bilang, ada lagi nggak? Ada lagi nggak? Kenapa? Aku suka sekali dikasih kerjaan,” ujar Andy F Noya seperti Olenka kutip, Rabu (30/10/2024).

“Dan aku mengerjakannya dengan penuh gairah, dengan penuh semangat, dan penuh kebahagiaan,” tambahnya.

Baca Juga: Perjalanan Hidup Andy F Noya: Miskin dan Dropout, Kini Jadi Jurnalis Kondang tanpa Ijazah Sarjana

Menurut Andy, kinerjanya tersebut berhasil mendapat perhatian penuh dari atasan. Apalagi, Andy mengerjakan satu per satu tugas dengan sempurna, tak peduli berapa banyak tugas yang harus diselesaikannya saat itu. 

“Itu nanti lama-lama dilihat oleh atasan-atasan kita. Gila, kalau gue kasih Andi Noe satu, belum cukup dua, dia nggak marah-marah. Tiga, malah minta lagi. Empat. Dan dikerjakan dengan baik, dengan sempurna,” tutur Andy.

Tak dipungkiri, Andy mengaku kerap dicemooh oleh rekan kerjanya lantaran kinerjanya yang terlampau totalitas terhadap perusahaan, meski mendapatkan gaji yang tak sesuai. Namun, Andy memilih untuk tutup kuping dan tetap mengerjakan tugas yang diberikan.

“Aku pernah di pekerjaan punya tiga jabatan, gajinya cuma satu. Semua orang bilang aku bodoh. Pertama, kerja harusnya pas bandrol aja. ‘Lu gajinya berapa sih?’ Katanya gitu. ‘Lu kerja kayak orang kesetanan gitu. Orang-orang udah pulang, lu masih kerja gitu. Kerja pas bandrol aja, gaji kita segini ya sudah, jam segitu pulang aja’,” cerita Andy.

Baca Juga: Kisah Andy F. Noya Bertahan Hidup Semasa Kuliah: Aku Memilih Menahan Lapar

Kata Andy, rekan-rekannya yang beranggapan demikian, tak melihat dari perspektifnya saat itu. Di mana, Andy justru melihat bahwa semua penugasan yang diberikan kepadanya adalah sebuah pembelajaran.

Alih-alih meminta untuk menaikkan gaji atau intensifnya saat itu, Andy justru bersyukur dan berterima kasih telah diberikan kepercayaan oleh atasannya untuk merangkap berbagai divisi kala itu. 

“Aku sedang belajar bidang yang bukan bidangku ini. Jadi, aku melengkapi diriku dengan senjata untuk bisa bersaing, berkompetisi dengan siapapun juga,” ucap Andy.

Sehingga suatu hari, kata Andy, ketika ia merasa gaji yang diterimanya memang kecil atau tidak sepantasnya, ia akan datang menghadap manajemen untuk meminta haknya. Bahkan, Andy sudah menyiapkan jawaban ampuh bila permintaannya diterima atau bahkan ditolak oleh manajemen. 

Andy tak keberatan untuk keluar dari perusahaan, jika perusahaan mampu untuk menaikkan gajinya tapi enggan memberikan haknya tersebut. Ia yakin, banyak perusahaan media lain yang mau menerimanya lantaran kompetensi yang sudah dimilikinya selama ini. 

“Karena aku tahu hargaku di pasar itu tinggi. Kenapa? Aku sudah melengkapi senjata-senjata tadi, yang kapanpun, dimanapun, aku siap untuk bertarung dengan siapapun. Artinya aku punya kompetensi yang aku yakini hargaku di pasar tinggi,” kata Andy.

Baca Juga: Perjuangan Andy F. Noya Gapai Mimpi Jadi Jurnalis: Sempat Patah Semangat

Namun, jika perusahaan mau membayarnya lebih, tetapi tidak mampu memberikan hak tersebut lantaran kondisi yang tak memungkinkan, Andy juga tak keberatan untuk tetap setia dengan perusahaan.

“Aku tetap bekerja, karena aku tahu sebenarnya perusahaan ingin membayar aku lebih, tapi nggak mampu. Ya sudah, ayo. Aku juga senang kok di sini. Aku bekerja dengan gairah yang tinggi lagi,” tukasnya.