Menurut Yuke, masalah terbesar yang dihadapi industri kreatif bukan hanya permodalan atau pemasaran, melainkan ekosistem yang belum sepenuhnya kuat.
Tantangan juga hadir dalam bentuk kurangnya riset, data, kelembagaan, hingga rendahnya kesadaran pelaku kreatif terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
“Selama ini tantangan industri kreatif sering dianggap ada di permodalan atau pemasaran. Padahal, permodalan dan pemasaran hanyalah bagian dari ekosistem. Tantangan sebenarnya justru ada di penguatan riset, data, kelembagaan, hingga kesadaran akan HKI. Itu yang harus kita perkuat bersama,” tegasnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Kemenekraf menekankan strategi kolaborasi Hexahelix yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, media, dan lembaga keuangan.
Langkah ini selaras dengan mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang menugaskan Kemenekraf untuk memperkuat ekosistem ekonomi kreatif.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada kolaborasi lintas kementerian, pemerintah daerah, lembaga keuangan, stakeholder pemasaran, hingga media. Dengan kolaborasi Hexahelix, penguatan ekosistem ekonomi kreatif bisa tercapai lebih optimal,” tutup Yuke.
Baca Juga: Mengusung Tema Identity, Indonesia Design Week 2025 Perkuat Karakter Desain Indonesia