Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan Indonesia atas kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Act, yang mengategorikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas dengan risiko tinggi terhadap alih fungsi lahan (high ILUC-risk), oleh Uni Eropa. Panel WTO, setelah mempertimbangkan bukti dan argumen hukum, menyimpulkan pada Januari 2025 bahwa kebijakan tersebut diskriminatif dan tidak didukung bukti ilmiah yang memadai.

Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), menegaskan bahwa keputusan tersebut memberikan kelegaan bagi Indonesia untuk kembali bersaing secara adil di pasar global. Apalagi, regulasi yang membatasi penggunaan minyak sawit dalam biofuel Eropa dengan target penghentian total pada tahun 2030 itu tidak menyentuh minyak nabati lain seperti bunga matahari dan rapeseed yang dampaknya terhadap lingkungan, menurut Kuntoro, tak kalah signifikan.

Baca Juga: Dua Raksasa Produsen Sawit Dunia, Indonesia-Malaysia, Perkuat Kerja Sama

"Keputusan ini membawa dampak strategis yang luas bagi Indonesia. Dengan terbukanya kembali akses pasar ke Eropa, minyak kelapa sawit Indonesia mendapatkan peluang besar untuk meningkatkan ekspor. Ini juga menjadi angin segar bagi jutaan petani dan pelaku industri yang sebelumnya terhambat oleh regulasi tidak adil. Selain itu, kemenangan ini mempertegas kemampuan diplomasi perdagangan Indonesia, menunjukkan bahwa argumen berbasis data, bukti ilmiah, dan hukum internasional dapat melindungi kepentingan nasional di forum global," jelasnya, dikutip Jumat (31/1/2025). 

Keberhasilan ini juga memberi inspirasi bagi negara-negara berkembang lain untuk memanfaatkan mekanisme internasional seperti WTO dalam menghadapi kebijakan perdagangan yang merugikan. Bagi Indonesia, kemenangan ini tidak hanya memperkuat posisi sebagai produsen utama minyak nabati, tetapi juga membuka jalan untuk menciptakan citra minyak kelapa sawit yang lebih positif di pasar global.

"Namun, perjalanan ke depan tidak bebas tantangan. Citra minyak kelapa sawit sebagai produk yang tidak ramah lingkungan masih menjadi penghalang di pasar internasional," tegasnya.

Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia dinilai perlu memperkuat program keberlanjutan seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan mendorong sertifikasi yang sesuai dengan standar internasional seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Hingga kini, hanya sebagian kecil dari 16 juta hektare perkebunan sawit yang telah bersertifikat ISPO sehingga percepatan sertifikasi menjadi agenda mendesak.

Selain itu, diversifikasi pasar juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada Uni Eropa yang saat ini menyerap sekitar 15% ekspor minyak sawit Indonesia. Pasar baru di Asia, Timur Tengah, dan Afrika, yang terus berkembang, menjadi peluang strategis. Di sisi lain, penguatan pasar domestik melalui program biodiesel B40 menawarkan potensi besar untuk menyerap produksi lokal dan mengurangi tekanan dari pasar ekspor.

"Keputusan WTO ini menjadi momentum strategis bagi Indonesia untuk memperkuat daya saing dan keberlanjutan industri kelapa sawit. Kemenangan ini juga menjadi katalis bagi diplomasi ekonomi Indonesia di masa depan. Melalui perjanjian perdagangan seperti Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), Indonesia dapat menjamin akses pasar yang lebih stabil dan adil. Langkah ini, pada akhirnya, akan memberikan manfaat besar bagi ekonomi nasional, lingkungan, dan kesejahteraan jutaan petani kecil di Indonesia," pungkasnya.