Kemunculan bisnis online beberapa tahun lalu membawa perubahan besar atau disrupsi di berbagai aspek. Di mana perusahaan mulai menerapkan strategi yang kini dikenal dengan istilah 'bakar duit’. Bahkan, fenomena startup ‘bakar duit’ secara massal cukup menggema di Tanah Air. Sejumlah perusahaan rintisan nekat bakar duit untuk menarik perhatian konsumen di tengah era disruptif
Boleh dikatakan, dulu, konsep 'bakar duit' dianggap tidak masuk akal, di mana perusahaan yang sengaja merugi untuk menarik pelanggan dianggap tidak benar. Namun saat ini, strategi tersebut mulai terlihat sebagai bagian dari bisnis yang ternyata efektif.
Bisnis online juga memunculkan tantangan baru dalam regulasi yang harus diadaptasi agar bisa mengikuti perkembangan. Kemudian, ada disrupsi di sisi teknologi, yang memudahkan bisnis online untuk melayani pelanggan dengan lebih efisien.
Wakil Direktur Utama Bluebird, Sigit Priawan Djokosoetono, mengungkap bahwa Bluebird pernah menghadapi tantangan besar dari tiga disrupsi yakni disrupsi teknologi, disrupsi regulasi, hingga disrupsi bakar uang.
Baca Juga: CEO Bluebird Sigit Djokosoetono Bagikan Tips Menumbuhkan Rasa Empati di Lingkup Perusahaan
“Bicara mengenai perkembangan teknologi di Bluebird, ada dua hal. Satu adalah disrupsi dari keuangan atau finansial dari harga, dan kedua adalah regulasi,” ujar Sigit Priawan Djokosoetono seperti dikutip Olenka, Rabu (6/11/2024).
“Nah yang keuangan kita mengerti kita tidak punya kapasitas karena bayangin aja bro revenue bluebird saat itu sama dengan biaya marketingnya mereka, revenue sama dengan biaya marketing. Jadi apa yang diterima Bluebird itu apa yang mereka spending untuk promo. Gimana cara lawannya? Ini Duit yang diterima dibuang semua gak mungkin, kalau kita lawan jadi pasti enggak mungkin kita pakai bakar duit tuh, satu gitu,” tambah Sigit menjelaskan.
Lanjut Sigit, skeptisisme terhadap strategi "bakar duit", yaitu praktik perusahaan memberikan subsidi besar atau potongan harga untuk menarik konsumen, yang sering dilakukan oleh bisnis online. Maksudnya adalah, ada keraguan dari banyak pihak mengenai keinginan strategi ini, banyak yang merasa strategi “bakar duit” tidak bisa bertahan lama atau berkelanjutan.
Para pakar ekonomi dan pihak lain kerap mengkritik strategi ini, dengan argumen bahwa perusahaan yang tidak dapat menawarkan harga murah tanpa bakar duit mungkin tidak cukup kompetitif. Namun, perusahaan yang mampu menawarkan harga murah dianggap bisa melakukannya karena mereka menggunakan strategi "bakar duit"
“Ketiga adalah ada yang memang pro. Nah kita lihat pasti satu tidak bertahan gitu jadi pikiran pertama adalah siapa yang bisa tahan napas paling panjang begitu dari perusahaan-perusahaan yang lain jadi pikiran kita mengencangkan ikat pinggang, mencari efisiensi, mempertahankan kita yang ada, dan akhirnya mencoba terus memperbaiki,” tutur Sigit.
Baca Juga: Bluebird Group Luncurkan Layanan Lifecare Taxi Khusus Difabel dan Lansia di Jakarta dan Bali
Kemudian perihal disrupsi regulasi. Menurut Sigit, ada ketimpangan regulasi dalam industri transportasi, antara tradisional dan bisnis online yang mulai bermunculan. Bisnis online dianggap sering kali bisa masuk pasar tanpa melalui persyaratan dan perizinan yang ketat, beda halnya dengan perusahaan transportasi konvensional yang harus memenuhi banyak aturan.
Kondisi ini menyebabkan pengemudi dan perusahaan tradisional merasa tertekan karena terbatas ruang geraknya, sementara bisnis online memiliki keleluasaan yang lebih besar. Hingga pada akhirnya, banyak perusahaan mendesak pemerintah untuk menyamakan regulasi yang ada.
“Ini gimana pun juga pengemudi di lapangan dan yang lainnya akhirnya merasa merasa tertekan gitu di mana seakan-akan kita tidak bisa bergerak dan akhirnya yang lain luas bergerak ya suatu saat simpul itu sumbatan itu pecah dalam bentuk demo dari seluruh perusahaan yang ada, bukan hanya Bluebird, tapi memang meminta pemerintah menyamakan regulasinya,” kata Sigit.
Baca Juga: Bluebird Group Luncurkan Layanan Lifecare Taxi Khusus Difabel dan Lansia di Jakarta dan Bali
Namun, kondisi-kondisi tersebut berhasil Bluebird lalui dan kondisi kembali pulih, bahkan lebih membaik. Benang merahnya, cara Bluebird menghadapi era disrupsi adalah menahan napas panjang, meminta regulator menyesuaikan regulasi agar adil, dan meningkatkan teknologi.
“dan akhirnya berkolaborasi, dan juga akhirnya mempertahankan apa yang memang masih kita punya sampai sekarang,” imbuh Sigit.