PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran sektor keuangan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan risiko bencana melalui seminar nasional Sustainability Dialogue 2025 bertajuk “Advancing Sustainable Development and Climate Resilience through Parametric Disaster Insurance.” Kegiatan ini menjadi momentum strategis dalam mendorong sistem pembiayaan risiko yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia.

Dalam seminar yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor, mulai dari pemerintah, regulator, pelaku industri, akademisi hingga mitra pembangunan ini, Indonesia Re menyoroti pentingnya integrasi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai fondasi dalam pengembangan sistem keuangan yang adaptif terhadap risiko bencana dan perubahan iklim.

Baca Juga: Dukung Penguatan UMKM Sektor Maritim, Askrindo Berikan Asuransi Mikro Bahari Bagi Nelayan di Muara Baru

Direktur Utama Indonesia Re, Benny Waworuntu, menjelaskan bahwa asuransi, khususnya skema parametrik, menjadi solusi yang relevan dalam mendukung ketahanan fiskal negara.

“Asuransi parametrik menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko nasional yang bisa membantu negara dalam kondisi darurat bencana. Indonesia Re siap menjadi motor penggerak dalam meningkatkan inklusi asuransi serta memperkuat industri dengan pendekatan berbasis data dan riset,” tegasnya.

Baca Juga: Tiga Proyek Kolaborasi Strategis dari SCG ESG Symposium 2024 Indonesia

Kementerian Keuangan melalui Kepala Subdirektorat Pengelolaan Risiko Aset dan Kewajiban Negara, Herry Indratno, turut menekankan urgensi inovasi pembiayaan risiko bencana. Menurutnya, kerugian akibat bencana di Indonesia mencapai rata-rata Rp22 triliun per tahun, sementara pendekatan konvensional berbasis APBN dinilai belum cukup efektif.

“Asuransi parametrik memungkinkan pencairan dana yang cepat, objektif, dan transparan, serta membuka ruang kolaborasi sektor swasta, termasuk industri asuransi nasional dan global,” ujar Herry.

Seminar ini juga menampilkan hasil kolaborasi antara Indonesia Re, Kementerian Keuangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Maipark dalam menyusun skema dan desain produk asuransi parametrik untuk risiko gempa dan banjir.

Produk ini dirancang untuk melindungi fiskal pemerintah daerah (APBD) dengan menyediakan dana cepat tanggap pasca bencana. Rencana peluncurannya ditargetkan pada tahun 2026, dengan melibatkan berbagai pihak di industri reasuransi.

Baca Juga: Dukung Green Finance, Bridgestone Indonesia Gunakan Produk Perbankan ESG Deposit yang Sustainable

Delil Khairat, Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, menambahkan bahwa pengembangan produk tersebut merupakan hasil kajian lintas sektor yang didorong oleh Kementerian Keuangan.

"Kami secara intensif mengkaji instrumen pembiayaan risiko dan skema parametrik, terutama untuk mendukung perlindungan terhadap risiko bencana seperti gempa dan banjir,” jelasnya.

Dalam konteks transformasi digital dan keberlanjutan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Deputi Direktur Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi, Kurnia Yuniakhir, menyoroti pentingnya kesiapan infrastruktur digital di industri asuransi.

Baca Juga: Langkah Bank BTPN Dukung Transisi Menuju Ekonomi Hijau Melalui ESG Deposit

“Transformasi digital harus dibarengi dengan penguatan sistem Business Continuity Management (BCM) agar industri mampu bertahan dalam menghadapi risiko sistemik dan bencana,” paparnya.

Sesi diskusi juga diisi oleh berbagai tokoh kunci, seperti Ni Luh Ayounik Mahasabha dari Surveyor Indonesia dan Elrika Hamdi dari JETP Indonesia. Keduanya menegaskan bahwa penerapan ESG bukan hanya kewajiban kepatuhan, tetapi merupakan strategi jangka panjang untuk menghadapi risiko iklim secara sistemik.

“ESG mendorong dekarbonisasi sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional terhadap perubahan iklim dan bencana,” kata Elrika.

Baca Juga: Xiaomi Rilis Laporan ESG 2024, Berhasil Tekan Emisi Karbon Lebih dari 3.000 Ton

Turut hadir dalam sesi diskusi, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Dr. Raditya Jati, juga menekankan pentingnya kebijakan berbasis risiko yang didukung data kebencanaan yang akurat. Menurutnya, data yang kuat dan tata kelola yang baik dapat mendukung serta memperkuat penerapan ESG di Indonesia.

“Kolaborasi lintas sektor menjadi syarat utama keberhasilan sistem Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI). Data yang kuat dan tata kelola yang baik akan memperkuat penerapan ESG di Indonesia,” tegasnya.

Melalui seminar ini, Indonesia Re menunjukkan peran strategis industri reasuransi sebagai katalisator antara sektor publik dan swasta dalam membangun ekosistem keuangan yang berorientasi pada keberlanjutan, daya tahan terhadap bencana, serta keadilan sosial.

Inisiatif ini menjadi langkah nyata menuju arsitektur keuangan nasional yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi juga mampu mengantisipasi tantangan iklim di masa depan.