Kehidupan di bumi ini tidak hanya diperuntukkan bagi manusia. Berbagai makhluk hidup berbagi ruang dan saling bergantung dalam sebuah sistem yang diciptakan secara seimbang. Hubungan yang harmonis antara manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan adalah kunci dari keberlangsungan kehidupan.

Ketika keseimbangan itu terganggu, maka dampaknya bisa dirasakan secara luas. Alam sejatinya memiliki mekanisme korektif untuk mengembalikan keseimbangan, namun proses itu kerap datang dalam bentuk yang merugikan, seperti bencana alam, kelangkaan sumber daya, hingga konflik antara manusia dan satwa liar.

Salah satu indikator terganggunya keseimbangan ekosistem adalah meningkatnya konflik antara manusia dan harimau. Harimau yang selama ini hidup di kedalaman hutan dan menjadi predator alami, kini semakin sering terlihat di area permukiman. Ini bukan karena mereka berubah sifat menjadi agresif, melainkan karena habitatnya terus menyempit.

Hutan yang rusak dan terfragmentasi tidak lagi mampu menyediakan cukup makanan bagi mereka. Akibatnya, harimau yang kelaparan memangsa ternak atau, dalam kasus yang ekstrem, menyerang manusia. Situasi ini menandakan bahwa sistem alam sedang tidak berjalan dengan semestinya.

Baca Juga: Jalan Panjang TWNC Lestarikan Harimau Sumatera: Spesies Harimau Endemik Terakhir dari Indonesia

Sebagai predator puncak, harimau berperan penting dalam menjaga struktur populasi mangsanya seperti rusa, kambing hutan, dan babi liar. Jika populasi mangsa dibiarkan berkembang tanpa kendali maka kerusakan pada vegetasi hutan pun tak terelakkan. Harimau menjaga agar tidak ada spesies yang mendominasi secara berlebihan.

Keberadaan harimau justru menjadi penyeimbang, bukan ancaman. Bahkan, dalam ekologi dikenal istilah species umbrella, yakni spesies yang dengan melindunginya, berarti kita turut melindungi puluhan hingga ratusan spesies lain dalam ekosistem yang sama.

Sayangnya, di Indonesia, dua dari tiga jenis harimau yang pernah ada telah dinyatakan punah. Harimau Bali lenyap pada tahun 1937, diikuti oleh Harimau Jawa yang diperkirakan punah pada 1980-an. Kedua subspesies ini musnah akibat perburuan liar dan hilangnya habitat yang tidak pernah dikembalikan. Kini, satu-satunya harapan tersisa adalah Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae), yang populasinya diperkirakan tinggal kurang dari 600-an ekor di alam liar. Mereka hidup tersebar di sisa-sisa hutan Pulau Sumatera, dari dataran rendah hingga kawasan pegunungan, dan merupakan satu-satunya subspesies harimau asli Indonesia yang masih bertahan.

Harimau Sumatera memiliki ciri khas berupa warna kulit oranye tua dengan loreng hitam yang rapat. Mereka tidak hanya mencerminkan kekayaan hayati Indonesia, tetapi juga menjadi penjaga alami kelestarian hutan.

Hutan yang dijaga oleh kehadiran harimau lebih sehat, lebih stabil, dan menyediakan berbagai sumber daya penting seperti air bersih dan udara segar. Selain itu, populasi harimau yang stabil membantu mengurangi hama pertanian seperti babi hutan, yang seringkali menjadi momok bagi petani di sekitar kawasan hutan.

Namun, ancaman terhadap Harimau Sumatera tak kunjung surut. Perburuan dan perdagangan ilegal masih marak terjadi, terutama karena permintaan bagian tubuh harimau yang tinggi di pasar gelap. Deforestasi dan ekspansi perkebunan skala besar telah mempersempit ruang hidup harimau dan mengganggu jalur jelajahnya.

Tidak hanya itu, konflik dengan manusia terus meningkat karena semakin seringnya perjumpaan antara harimau dan aktivitas manusia di batas hutan. Ironisnya, penyebab konflik itu justru sering kali berasal dari kesalahan kita dalam mengelola alam.

Melindungi harimau berarti menjaga keseluruhan ekosistem. Ketika kita menjaga keberadaan harimau di alam, kita juga menjaga rantai makanan tetap seimbang, menjaga fungsi hutan tetap berjalan, dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia sehari-hari.

Sebuah ekosistem yang sehat akan mengembalikan manfaat bagi manusia, dari sisi lingkungan, ekonomi, hingga spiritual dan budaya. Harimau, dalam banyak budaya Nusantara, bukan hanya makhluk buas, tetapi simbol kekuatan alam, kewaspadaan, dan keharmonisan.

Upaya konservasi Harimau Sumatera harus terus diperkuat dengan melibatkan banyak pihak—dari pemerintah, LSM, akademisi, hingga masyarakat adat dan pelaku usaha. Penegakan hukum terhadap pelaku perburuan liar perlu dilakukan dengan tegas dan konsisten. Di saat yang sama, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya harimau dalam sistem alam harus diperluas agar persepsi yang salah dapat dikoreksi. Harimau bukan musuh, mereka adalah bagian dari rumah kita yang bernama bumi.

Global Tiger Day bukan hanya momentum peringatan, tetapi juga ajakan untuk bertindak. Saat ini adalah waktu yang paling menentukan.

Jika kita tidak bergerak sekarang, maka seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali, Harimau Sumatera pun hanya akan tinggal cerita. Dan saat itu tiba, yang kita hadapi bukan hanya kehilangan satu spesies, tapi hilangnya penyangga keseimbangan alam yang kita sendiri butuhkan untuk bertahan hidup.