Meski demikian, Imas menekankan penghentian impor tidak boleh berhenti di tingkat distribusi dalam negeri saja.  Menurutnya, pengawasan harus dilakukan sejak di hulu agar arus barang bekas dari luar negeri benar-benar terputus.

“Kalau pengiriman pakaian bekas masih terjadi, maka peredarannya tetap sulit dihentikan. Karena itu, langkah tegas Purbaya perlu diapresiasi. Jika pemasok yang sudah masuk daftar hitam masih nekat mengirim barang ke Indonesia, harus diberi sanksi berat,” tegasnya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sejak 2024 hingga Agustus 2025 tercatat terdapat 2.584 kasus penyelundupan pakaian bekas berhasil ditindak, dengan total barang bukti sebanyak 12.808 koli dan nilai mencapai sekitar Rp 49,44 miliar.

Imas menekankan, penghentian impor pakaian bekas menjadi langkah penting untuk menjaga keberlanjutan industri tekstil nasional yang tengah berupaya meningkatkan daya saing dan memperluas pasar domestik.

“Produk tekstil dalam negeri sebenarnya sangat berkualitas. Banyak pelaku usaha yang berinovasi, tetapi terhambat karena pasar dibanjiri pakaian bekas murah. Jika impor ini benar-benar dihentikan, industri tekstil nasional akan kembali bergairah,” kata Imas.

Selain itu, Imas juga menyoroti maraknya penjualan pakaian bekas di pasar tradisional hingga platform daring (online shop). Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi produsen lokal yang berjuang mempertahankan pangsa pasar.

“Bagaimana industri tekstil kita bisa berkembang kalau harus bersaing dengan barang bekas impor yang dijual murah dan mudah ditemukan di pasar maupun online. Sudah saatnya pemerintah berpihak penuh kepada produk dalam negeri,” tutupnya.