MNC Media atau MNC Group yang didirikan oleh Hary Tanoesoedibjo telah menjadi salah satu raksasa bisnis yang mendominasi berbagai sektor, terutama di bidang media dan properti.

Namun siapa sangka, kisah sukses MNC ini penuh dengan tantangan, ketekunan, dan inovasi yang memungkinkan mereka memperoleh posisi unggul di pasar Indonesia. 

Sebelum MNC dikenal seperti sekarang, Hary Tanoe menjelaskan, ia mendirikan MNC dengan mengambil alih saham PT Bimantara Citra Tbk yang kini berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Perusahaan tersebut menjadi kendaraan investasi Hary untuk mengembangkan bisnis.

Sejak pengambilalihan tersebut, Hary Tanoe pun terjun dalam bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Hary kemudian menjadi Presiden Direktur Global Mediacom sejak tahun 2002, setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris perusahaan tersebut. 

Lantas, seperti apa evolusi perusahaan Bimantara jadi MNC? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut Olenka ulas kisahnya.

Baca Juga: Mengulik Peran Keluarga Hary Tanoesoedibjo di Pohon Bisnis MNC Group

Latar Belakang Bimantara

Dikutip dari laman CNBC Indonesia, sebelum berubah nama menjadi Global Mediacom, Bimantara punya sejarah panjang sebelum jatuh ke tangan Grup MNC.

Dokumen sejarah Bimantara yang diunggah dari situs resmi Mediacom.co.id, menunjukkan, PT Bimantara didirikan pada Juni 1981 dan fokus pada bisnis perdagangan dan industri khususnya media penyiaran, telekomunikasi, infrastruktur, transportasi dan industri otomotif, kimia, perhotelan dan properti, jasa keuangan dan investasi, perkapalan, serta pernah berpartisipasi dalam monopoli perdagangan jeruk pontianak,

Maka dari itu, perusahaan ini menjadi salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia pada masa Orde Baru. Disamping itu, Bimantara berhasil memperoleh saham dengan beberapa perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, seperti Nestle. Di tengah era Orde Baru, Bimantara mampu tumbuh beranak pinak dalam kurun waktu cepat.

Adapun, beberapa anak usaha PT Bimantara saat itu, seperti PT Elektrindo Nusantara, PT Toko Kanetsu Indonesia, PT Indonesia Air Transport, PT Polychem Lindo Inc, dan PT Usaha Gedung Bimantara.

Lalu, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Citra International Finance & Investment Corporation, dan PT Citrakarya Pranata, PT Plaza Indonesia Realty, PT Cardig Air, PT Danapaints Indonesia, PT PT Nestle Indonesia.

Pada tahun 1981, pemegang saham PT Bimantara saat itu, yakni Bambang Trihatmodjo sebesar 50% (Rp 10 juta), Rosano Barack 25% (Rp 5 juta), dan Mohamad Tachril Sapi'ie.

Kemudian, pada 1992, pemegang saham Bimantara berubah dengan masuknya Indra Rukmana dengan porsi saham 30%, sehingga Bambang memegang 30%, Rosano 20%, dan Mohamad Tachriel 20% saham Bimantara.

Indra sendiri adalah kakak ipar Bambang, suami dari Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut (mantan Menteri Sosial, putri pertama dari mantan Presiden Soeharto, dan kakak kandung Bambang Trihatmodjo).

Tahun 1986, masuk lagi pemegang saham, yakni Peter Frans Gontha, pebisnis sukses yang dijuluki Donald Trump-nya Indonesia. Peter masuk memegang 2%, sementara Bambang 39%, Indra 39%, Rosano 10%, Mohamad 10%.

Tahun 1995, Bambang masih menjabat Dirut, sementara Preskom dipegang Indra Rukmana, dengan porsi saham berubah dengan kepemilikan terdiri dari PT Asriland, PT Internusa Rizki Abadi, PT Rizki Bukit Abadi, PT Matra Teguh Abadi, dan PT Persada Giri Abadi.

Baca Juga: Kunci Produktivitas Ala Hary Tanoesoedibjo: Kerja Cepat dan Tepat