Pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki, Abu Bakar Ba'asyir kembali membetot perhatian publik, namanya mendadak menjadi pembahasan masyarakat pengguna media sosial dalam satu dua hari belakangan ini.
Eks narapidana terorisme itu mendapat atensi publik setelah dia secara terbuka menyatakan dukungannya untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada Pemilu 2024.
Baca Juga: Abu Bakar Ba’asyir Dukung Anies-Muhaimin
Menurutnya, ikut serta dalam Pemilu dan mencoblos pasangan capres/cawapres nomor urut 01 adalah salah satu jalan membela islam.
Harus diakui, Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud atau lebih akrab disapa Ustaz Abu Bakar Ba’asyir bukan sosok sembarangan, dia adalah seorang pemuka agama yang punya pengaruh besar. Ulama berdarah Arab ini dikenal sebagai pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Pria paruh baya kelahiran Jombang, 17 Agustus 1938 mulai menapaki karir sebagai pemuka agama ketika dirinya menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Solo, saat itu Ba’asyir tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo setelah menuntaskan pendidikan di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur pada 1959.
Menjadi aktivis HMI Solo, nama Ba’asyir mulai menanjak naik dan perlahan mulai dikenal khalayak luas setelah dirinya didapuk memimpin sejumlah organisasi besar seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam.
Sudah Kenyang dengan pengalaman berorganisasi Ba’asyir setelah lulus dari Universitas Al-Irsyad kemudian mendirikan pesantren Al Mu'min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pesantren itu ia besut bareng sejumlah rekannya seperti Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H, Daeng Matase dan Abdllah Baraja. Pesantren itu dibangun pada 1972.
Baca Juga: Petisi 100 Ajukan Pemakzulan Jokowi ke Mahfud, Budi Arie: Itu Orang-orang Sedang Mengigau Saja
Ba’asyir kemudian hijrah ke Malaysia setelah kondisi politik Indonesia memanas pada era Orde Baru. di Negeri Jiran dia menetap selama 17 tahun, ketika itu dirinya enggan pulang ke Indonesia sebab dia terang-terangan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Penolakan terhadap pancasila berujung penangkapan dirinya pada 1983, ketika itu Ba’asyir ditangkap bareng Abdulla Sungkar. Keduanya dituduh melakukan penghasutan untuk menolak Pancasila. Mereka juga dituduh melarang seluruh santrinya hormat saat upacara pengibaran bendera merah putih lantaran dianggap syirik.
Tidak hanya dicap sebagai penghasut, kondisi Ba’asyir diperparah dengan tuduhan lain yakni dianggap sebagai salah satu tokoh gerakan Haji Ismail Pranoto atau Hispran yang masih bagian dari Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah.
Baca Juga: Turun Gunung, Surya Paloh Bakal Pimpin Kampanye Akbar Anies-Muhaimin
Atas berbagai tuduhan itu, Ba’asyir dan Abdullah Sungkar divonis 9 tahun penjara. Keduanya jelas tak terima hal itu dan memilih kabur dari Indonesia. Mereka melarikan diri lewat jalur laut dari Solo menuju Malaysia.