Pulau Jawa, selain terkenal dengan keindahan alam dan kebudayaannya yang kaya, juga merupakan rumah bagi berbagai kerajaan yang berpengaruh dalam sejarah Nusantara.

Berdasarkan catatan sejarah, munculnya kerajaan di tanah Jawa dimulai sejak Kerajaan Kalingga hingga berlanjut pada Kerajaan Medang atau Mataram Kuna (periode Jawa Tengah dan periode Jawa Timur), Kahuripan, Janggala, Kadiri, Singhasari, Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Mataram Baru (Mataram Islam), Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Munculnya kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut pun disertai lahirnya raja-raja besar yang tersohor namanya karena prestasinya semasa melaksanakan tugas negara. Tak pelak, raja-raja tersebut pun diabadikan dalam kitab sejarah bangsa.

Para raja di tanah Jawa ini dikenal tidak hanya karena kekuasaan politik mereka, tetapi juga karena kharisma dan kehidupan pribadi yang penuh dengan legenda. 

Lantas, siapa saja raja-raja yang paling berpengaruh di tanah Jawa? Mengutip dari berbagai sumber, Senin (26/8/2024), berikut Olenka himpun sejumlah informasi terkaitnya.

Baca Juga: Ensiklopedia Kerajaan dan Daftar Penguasa di Tanah Jawa

1. Ratu Sanjaya

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya atau Ratu Sanjaya adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8 di Jawa Tengah. Sebagai raja pertama Mataram Kuno dan pendiri Dinasti Sanjaya, Ratu Sanjaya memerintah antara tahun 732-760.

Selama hampir tiga abad berkuasa, Kerajaan Mataram Kuno tidak hanya diperintah oleh Dinasti Sanjaya, tetapi juga Dinasti Syailendra dan Dinasti Isyana. Nama Ratu Sanjaya sendiri dikenal melalui Prasasti Canggal dan Prasasti Mantyasih serta naskah dari Carita Parahyangan.

Dari Prasasti Canggal diketahui bahwa Ratu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 732.

Di Jawa Barat, nama Ratu Sanjaya dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Setelah hampir tiga dekade berkuasa, Ratu Sanjaya meninggal karena sakit.

Berdasarkan Prasasti Mantyasih, yang menjadi salah satu Peninggalan Raja Sanjaya, kedudukan Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja Mataram Kuno kedua.

2. Raja Samaratungga

Samaratungga adalah raja dari Kerajaan Mataram Kuno atau Medang. Sebagaimana diungkapkan sejarawan Slamet Muljana, Samaratungga merupakan anak dari raja Mataram, Samaragrawira yang pernah memerintah Medang pada 800-812 Masehi.

Pendapat Slamet Muljana ini dikuatkan dengan Prasasti Pongar yang dikeluarkan pada tahun 802 Masehi. Prasasti tersebut menyebutkan Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa.

Selain itu, Samaratungga adalah salah satu raja yang ikut membangun candi Borobudur, terutama dalam menyelesaikan pembangunannya pada tahun 825.

Sebelum menjadi raja di Medang, Samaratungga terlebih dahulu menjadi kepala daerah Garung yang bergelar Rakryan i Garung atau Rakai Garung. Samaratungga sendiri naik tahta dan bergelar Sri Maharaja Samaratungga.

3. Mpu Manuku

Mpu Manuku merupakan raja keenam Kerajaan Mataram Kuno. Masa pemerintahannya menandai bersatunya Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Dinasti Syailendra (Buddha), yang sebelumnya saling bersaing.

Mpu Manuku punya nama lain dengan Rakai Pikatan adalah merupakan seorang dengan penganut Hindu. Ia pun terkenal gemar membuat candi.  Ia adalah yang mendirikan kompleks Candi Siwagrha. Selain itu, ia dikenal sebagai raja yang mengawali pembangunan Candi Prambanan.

Pasca turun tahta, Rakai Pikatan atau Mpu Manuku menjadi Brahmana dan setelah meninggal ia dimakamkan di Desa Pastika.

Baca Juga: Mengenal Sosok Raja Jawa Tanpa Mahkota

4. Dyah Balitung

Dyah Balitung adalah raja Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa dari tahun 899 hingga 911.Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Ia memerintah dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Dharmmodaya Mahasambhu.  Dari pemerintahannya yang berlangsung sekitar 12 tahun, para ahli telah menemukan setidaknya 45 prasasti.

Salah satu prasasti terkenal yang dikeluarkan Dyah Balitung adalah Prasasti Mantyasih, yang berisi silsilah raja Mataram Kuno.

Dyah Balitung membawa Kerajaan Mataram Kuno mencapai kemajuannya. Berbagai terobosan inovasi kebijakan pembangunan, hingga kebijakan politik dicetuskan. Alhasil Kerajaan Mataram saat itu menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara.

5. Mpu Sindok

Melansir Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Mpu Sindok atau Pu Sindok disebut juga dengan Dyah Sindok merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur, yang memerintah sekitar tahun 929 – 947.

Mpu Sindok adalah raja yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari Bhumi Mataram masa periode Jawa Tengah ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isanawikrama.

Mpu Sindok diperkirakan sebagai merupakan cucu dari Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.

Pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu. Sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, ia naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino.

Kedua posisi tersebut merupakan posisi tingkat tinggi yang hanya dapat diberi oleh keluarga raja, yang berarti, Mpu Sindok merupakan seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.

Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain.

Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

6. Raja Airlangga

Airlangga sering ditulis dengan Erlangga adalah pendiri kerajaan Medang Kahuripan, Panjalu dan Janggala di Jawa Timur yang memerintah pada sekitar tahun 1019-1043 M.

Airlangga merupakan putra dari Raja Udayana dan Ratu Mahendradata. Mengutip Repository Kemdikbud, Mahendradata atau Gunapriyadharmapatni adalah cicit Mpu Sindok.

Mpu Sindok sendiri merupakan seorang Raja Mataram tersohor yang memiliki gelar Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa. Berdasarkan latar belakang ini, diketahui bahwa Raja Airlangga adalah salah satu keturunan Mpu Sindok.

Airlangga naik takhta dengan bergelar abhiseka sebagai Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Sejak naik takhta, Raja Airlangga memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang pernah melepaskan diri dari Kerajaan Medang. Selain itu, Airlangga juga menyerang Raja Wurawari dan semua musuh yang memiliki andil dalam runtuhnya Kerajaan Medang.

Airlangga menjadi satu-satunya raja di Kahuripan karena pada akhir pemerintahannya memilih untuk membagi kerajaannya menjadi dua untuk putranya dan sepupunya. Setelah turun takhta, Airlangga memilih untuk menjadi pertapa hingga akhir hayatnya pada 1049.

7. Mapanji Jayabaya

Jayabaya merupakan Raja Panjalu atau Kediri yang memerintah pada sekitar tahun 1135-1157.  Jayabaya juga dikenal sebagai raja yang mampu mempersatukan Jenggala dengan Kediri.

Jayabaya dianggap sebagai pemimpin bijak yang diibaratkan laksana Sang Hyang Wisnu yang menjaga kesejahteraan. Kepemimpinannya yang bijaksana membawa masa keemasan bagi Kerajaan Kediri yang didukung juga oleh cendekia terkemuka, seperti Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna, dan Manoguna.

Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya, Keraton Kediri mencapai puncak peradaban dengan menghasilkan karya sastra bermutu tinggi, seperti kakawin Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa.

Strategi Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya juga luar biasa. Pertanian dan perkebunan berlimpah, dan ekonomi berjalan lancar, menjadikan Kerajaan Kediri sebagai negara yang dikenal dengan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

Prabu Jayabaya sendiri sering melakukan tirakat dan semedi di tengah hutan yang sunyi. Jayabaya juga dikenal dengan berbagai ramalannya yang dikenal sebagai Jangka Jayabaya. Ramalan-ramalan ini awalnya tertuang dalam bentuk tembang atau kakawin yang ditulis oleh Jayabaya. Tidak diketahui siapa yang membuat kisah-kisah tersebut.

Yoyok Rahayu Basuki dalam bukunya Kitab Musasar Jangka Jayabaya (2021) menjelaskan, setidaknya ada 3 prasasti yang menjelaskan mengenai kejayaan Kediri di bawah kepemimpinan Jayabaya. Antara lain prasasti Hantang bertahun 1135, prasasti Talan (1136) dan prasasti Jepun (1144). Sedangkan dalam bentuk literasi yakni Kakawin Bharatayuddha tahun 1157.

8. Raja Kertanagara

Kertanegara merupakan raja terbesar Kerajaan Singasari yang tercantum dalam sejarah Nusantara. Raja Kertanegara memiliki gelar Sri Maharajadhiraja Sri Kertanegara.

Raja Kertanegara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana dan Jayawardhani atau Waning Hyun. Ibunya termasuk cucu dari Ken Dedes dan Ken Arok sebagai pendiri Kerajaan Singasari. Sebagai keturunan raja, maka ia diangkat menjadi raja kelima dari Kerajaan Singasari.

Kertanegara adalah raja dengan masa pemerintahan terlama di Kerajaan Singasari. Semasa kekuasaan Kertanegara, Kerajaan Singasari meluas hingga Bali, Sunda, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sumatera.

Kekuasaan Raja Kertanegara berakhir pada tahun 1292 setelah ditaklukkan Jayakatwang dari Kediri.

Baca Juga: Sosok Raja Jawa dalam Pidato Bahlil dan Respons Santai Megawati: Saya Sarapan Sambil Ketawa

9. Hayam Wuruk

Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah antara tahun 1350-1389 masehi. Nama Hayam Wuruk bermakna “ayam terpelajar”. Saat ia dilahirkan, alam menyambutnya dengan terjadinya gempa bumi, hujan lebat, dan meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur. Setelah resmi menjadi raja, gelarnya adalah Sri Rajasanagara.

Dikutip dari Cribb dan Kahin dalam Historical Dictionary Of Indonesia (2012), Hayam Wuruk dinobatkan setelah Ratu Tribhuwana Tunggadewi menyerahkan takhta Majapahit kepadanya. Ketika menjadi Raja Majapahit, Hayam Wuruk baru berusia 16 tahun.

Hayam Wuruk adalah raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit yang memerintah didampingi oleh Patih Gajah Mada.

Bersama Gajah Mada, Hayam Wuruk membangun Majapahit ke puncak kejayaan berdasarkan falsafah kenegaraan: Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa yang bermakna "Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu dan tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.

Hayam Wuruk juga merupakan sosok yang pemberani dan tegas. Ia juga memiliki keahlian dalam bidang pemerintahan. Inilah yang kemudian membawanya sukses membawa Imperium Majapahit mencapai masa kejayaan.

10. Raden Patah

Raden Patah merupakan anak raja Majapahit terakhir, yaitu raja Brawijaya V. Ketika dewasa, Raden Patah diberikan kekuasaan atas daerah Demak dan mendirikan Kerajaan Demak.

Raden Patah tinggal dan dididik oleh Arya Damar sekitar 15 tahun, yaitu dari tahun 1456 sampai 1471. Dalam kurun waktu tersebut, Raden Fatah tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga ilmu pemerintahan kepada Arya Damar.

Nama lain Raden Patah adalah Jin Bun. Beberapa sumber menyebutkan julukannya ini diberikan oleh sang kakek, Syekh Bentong.

Dengan bantuan para Wali Songo, Raden Patah berhasil mengembangkan Kerajaan Demak menjadi pusat perdagangan yang penting karena disinggahi oleh para pedagang dari barat yang menuju timur, maupun sebaliknya.

Kerajaan Demak tidak hanya menjadi pusat perdagangan yang maju, tetapi juga pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Raden Patah memerintah Kerajaan Demak selama 30 tahun, hingga akhir hayatnya. Raden Patah meninggal pada 1518.

11. Sultan Agung

Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang.

Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.

Sultan Agung menaiki takhta sebagai pemimpin pada tahun 1613 ketika usianya 20 tahun. Mengutip dari kebudayaan.jogjakota.go.id, puncak kejayaan Sultan Agung berada pada tahun 1627, yakni setelah 14 tahun kepemimpinannya berlangsung dengan wilayah kekuasaan yang luas, meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Timur.

Sebagai penguasa tertinggi, Sultan Agung juga mampu membawa Kerajaan Mataram pada peradaban kebudayaan ke tingkat yang lebih tinggi dengan berbagai keahlian yang dimiliki.

Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran melakukan perlawanan dengan Belanda yang kala itu hadir lewat kongsi dagang VOC. Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa.

Berdasarkan wasiatnya, Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan putranya yakni Raden Mas Sayyidin.

12. Sunan Pakubuwono IV

Pakubuwono IV adalah putra Pakubuwono III yang ketika lahir pada 2 September 1768 diberi nama Raden Mas Subadya. Ibunya bernama GKR Kencana, permaisuri keturunan Sultan Demak. Raden Mas Subadya naik takhta pada 29 September 1788, enam hari setelah wafatnya Pakubuwono III.

Setelah itu, ia menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IV dan resmi menjadi raja Kasunanan Surakarta ketiga. Pakubuwono IV juga dikenal sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta pada usia muda (20 tahun) dan berwajah tampan.

Dikutip dari Kompas.com, berbeda dengan ayah dan kakeknya yang tunduk terhadap VOC, Pakubuwono IV adalah raja pemberani yang sangat membenci kehadiran bangsa Belanda. Selain itu, sebagai pemeluk Islam yang taat, Pakubuwono IV mengangkat para ulama dalam pemerintahannya.

Namun, oleh para pejabat istana yang menganut Islam Kejawen, sikapnya dianggap terlalu keras, terutama dalam menyingkirkan para kerabat yang tidak sepaham dengannya. Hal ini kemudian memicu konflik yang berujung pada Peristiwa Pakepung.

Dalam Serat Babad Pakepung yang ditulis oleh Yosodipuro II, pujangga Keraton Kartasura, Pakubuwono IV diceritakan sebagai ahli strategi yang cerdik dan ahli sastra, khususnya yang bersifat rohani. Sifatnya ini membuat pemerintahannya mampu bertahan meski terjadi pergantian pemerintah penjajah, dari Belanda ke Inggris hingga kembali lagi ke Belanda.

Pakubuwono IV memerintah hingga akhir hidupnya pada 2 Oktober 1820. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di Kedhaton Besiyaran, Yogyakarta.

13. Sri Sultan Hamengkubuwano IX

Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir pada tanggal 12 April 1912. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Beliau juga termasuk salah satu pahlawan nasional.

Selama memerintah, Sultan HB IX berhasil membawa banyak perubahan di Kasultanan Yogyakarta. Setelah berhasil dengan kerajaan yang dipimpinnya, Sultan HB IX melanjutkan kiprahnya di pemerintahan RI sebagai menteri hingga wakil presiden.

Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Proyek selokan Mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini.

Di bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari kratonjogja.id, layaknya raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni.

Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).

Pada tanggal 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di Washington DC, Amerika Serikat, pada usia 76 tahun. Warisannya sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berjiwa besar terus diabadikan oleh bangsa Indonesia, dan beliau dihormati sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Baca Juga: Kisah Sukses Kopi Kenangan, Raja Kopi Asia yang Menembus Belantara Pasar Internasional