Steve Jobs, Muhammad Ali, Pablo Picasso, Henry Ford, Tommy Hilfiger, dan Richard Branson, apa yang mereka semua miliki selain menjadi tokoh ikonik di industri masing-masing? Ya, ternyata mereka semua menderita disleksia atau kondisi neurologis yang disebabkan oleh otak yang bekerja secara berbeda, menurut Asosiasi Disleksia Internasional.

Disleksia memengaruhi cara otak memproses kata-kata tertulis, membuat membaca dan mengeja lebih menantang tetapi bukan tidak mungkin. Meskipun menghadapi tantangan ini, banyak penderita disleksia, seperti pendiri dan bos Virgin Group, Richard Branson, telah mengubah disleksia menjadi kekuatan super mereka yang unik.

Branson bahkan meluncurkan universitas daring gratis pertama untuk para penyintas disleksia. Branson pun menggambarkan disleksia sebagai "berkah tersembunyi" bagi dirinya.

Dalam sebuah wawancara di acara This Is Working di LinkedIn, ia berbagi bahwa disleksia membentuk pemikiran kreatifnya dan membantunya sukses dalam bisnis. Sementara beberapa orang, seperti Branson, mengubah disleksia menjadi kekuatan super, banyak orang lain yang diam-diam berjuang, terutama di lingkungan tempat kerja yang tidak memahami atau memanfaatkan kekuatan mereka.

Disleksia di Tempat Kerja

Menurut penelitian NIH, sekitar 1 dari 5 orang (20%) menderita disleksia. Namun, lingkungan tempat kerja sering kali gagal mengenali kemampuan unik yang muncul dari pemikiran disleksia. Sebuah studi oleh lembaga amal global Made by Dyslexia dan LinkedIn menemukan bahwa hanya 1 dari 5 karyawan disleksia yang merasa tempat kerja mereka memahami kekuatan mereka, meskipun 88% orang dengan disleksia memandang gaya berpikir mereka sebagai aset di tempat kerja. Sebaliknya, hanya 46% individu nondisleksia yang melihat pemikiran disleksia sebagai keuntungan strategis.

Kesenjangan ini sering kali berasal dari kurangnya pemahaman, bukan pengabaian yang disengaja. Studi yang sama menunjukkan bahwa 87% penderita disleksia percaya bahwa tempat kerja mereka harus meningkatkan pemahaman tentang disleksia.

Meskipun demikian, hanya 28% rekan kerja yang bertanya kepada rekan disleksia tentang pendekatan mereka terhadap pekerjaan secara berbeda. Namun, seiring dengan perubahan bisnis yang transformatif—terutama dengan munculnya kecerdasan buatan (AI)—keterampilan yang dibutuhkan untuk berkembang dan bertahan terus berkembang.

Data LinkedIn menunjukkan bahwa pada tahun 2030, 65% persyaratan pekerjaan akan berubah karena dampak AI. Agar tetap kompetitif, CEO dan pemimpin bisnis harus merangkul pemikiran disleksia (dan individu) di tempat kerja karena dua alasan utama, yakni:

1. Pemikiran Abstrak dan Visualisasi

Dalam sains, kimia umum sangat berbeda dari kimia organik. Kimia organik mengharuskan siswa untuk berpikir secara abstrak, memvisualisasikan interaksi molekuler, dan memahami hubungan kompleks berdasarkan bentuk 3D dan sifat elektronik.

Meskipun Anda mungkin tidak akan membahas ikatan molekuler pada rapat tim berikutnya, kemampuan untuk memvisualisasikan dan memecahkan masalah semakin penting dalam bisnis. Penderita disleksia sering kali unggul dalam imajinasi mental dan pemikiran abstrak, keterampilan yang akan terus diminati seiring AI mengambil alih tugas-tugas yang berulang.

Dalam lanskap bisnis baru ini, kreativitas, pemecahan masalah, dan kemampuan untuk menghubungkan ide-ide yang tampaknya tidak berhubungan akan menentukan keberhasilan di tempat kerja dan organisasi.

Baca Juga: Bos Disney: CEO yang Bugar Adalah CEO yang Efektif