Chairul Tanjung dikenal akan kesuksesannya membangun perusahaan CT Corp. Perusahaan yang dulunya bernama Para Group tersebut terdiri dari tiga perusahaan subholding, yakni Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam.
Mengutip data Forbes Real Time Billionaires (5/6/2024), kekayaan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia periode 2014 ini mencapai US$5,1 miliar atau sekitar Rp81,11 triliun. Kekayaannya tersebut menjadikan Chairul Tanjung sebagai orang kaya nomor delapan di Indonesia.
Sukses menjadi pebisnis hingga menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, Chairul Tanjung terkenal akan sebutan 'si anak singkong' karena hidupnya yang kurang mampu saat masih kecil. Meski begitu, berkat sikap pantang menyerahnya, Chairul Tanjung mampu membuktikan bahwa sukses bisa diraih oleh siapa pun.
Berikut perjalanan hidup Chairul Tanjung yang bisa dijadikan pelajaran.
Masa Kecil Si Anak Singkong
Chairul Tanjung diketahui tumbuh besar di tengah keluarga yang sederhana. Anak dari pasangan Abdul Ghafar Tanjung dan Halimah ini lahir di Gang Sepur, Kemayoran, Jakarta pada 18 Juni 1962 silam. Ayah Chairul merupakan wartawan pada orde lama yang menerbitkan surat kabar beroplah kecil, sedangkan ibunya merupakan ibu rumah tangga.
Pada masa Orde Baru, usaha ayahnya terpaksa tutup sehingga Chairul bersama enam saudaranya harus tinggal di kamar losmen yang sempit. Julukan 'Si Anak Singkong' melekat pada dirinya untuk mendeskripsikan orang pinggiran pada masa itu.
Masa pendidikan Chairul Tanjung dihabiskan di Jakarta. Ia bersekolah di SD dan SMP Van Lith, Jakarta, lalu melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Boedi Oetomo, Jakarta dan lulus pada tahun 1981. Sambil berjualan, Chairul Tanjung mampu menyelesaikan masa kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia pada 1987. Ia juga sempat mendapatkan penghargaan sebagai Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional tahun 1984-1985. Bahkan, Chairul berhasil mengambil gelar MBA dari Executive Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) pada 1993.
Mulai Berbisnis sejak Kuliah
Sebenarnya, dari kecil Chairul Tanjung sudah membantu orang tuanya berjualan gorengan dan koran. Namun, bisnis yang dimulainya sendiri dijalani Chairul sejak kuliah. Demi menambah biaya kuliah, Chairul muda mulai berjualan buku, mendirikan usaha fotokopi, hingga berjualan kaos. Ia juga sempat mendirikan toko peralatan kedokteran dan laboratorium di Jakarta Pusat meski pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
"Saya jadi pengusaha bukan karena pendidikan, bukan karena keturunan orang kaya. Saya menjadi pengusaha karena terpaksa membiayai sekolah sendiri, cari uang untuk kuliah," paparnya saat menghadiri acara peluncuran bukunya pada tahun 2012 silam.
Namun, hal itu malah membuka jalan bagi Chairul Tanjung yang akhirnya fokus mengembangkan bisnisnya. Dia mengakui bahwa di masa itu, tak banyak anak kuliah seusianya yang terjun menjadi entrepreneur. Berbeda dengan masa sekarang, semangat entrepreneur generasi muda sangat tinggi.
"Zaman saya, i’m the only one di UI sebagai mahasiswa yang cari uang atau menjadi entrepreneur. Yang lain datang ke kampus untuk belajar," ujarnya di hadapan mahasiswa UGM, Maret 2019.
Perkembangan Bisnis
Lulus dari UI, Chairul Tanjung mendirikan PT Pariarti Shindutama pada 1987 bersama tiga rekannya dengan meminjam dana Rp150 juta dari Bank Exim. Perusahaan yang memproduksi sepatu anak-anak itu berhasil melakukan ekspor ke Italia sebanyak 160.000 pasang sepatu. Namun, karena adanya perbedaan visi dan misi antara dia dan rekan-rekannya, Chairul Tanjung memutuskan keluar dari PT Pariarti Shindutama.
Setelah itu, Chairul mulai merintis usaha konglomerasinya yang fokus pada tiga bisnis inti, yaitu keuangan, properti, dan multimedia. Perusahaan konglomerasi ini awalnya bernama Para Inti Holdindo sebagai father holding company dengan membawahi 3 subholding, yaitu Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo (media dan investasi), dan Para Inti Propertindo (properti).
Keputusannya mengambil alih Bank Karman yang kemudian berganti nama menjadi Bank Mega pada 1996 berbuah manis. Saat banyak pengusaha kolaps akibat krisis moneter pada tahun 1998, Bank Mega mampu bertahan bahkan mencetak keuntungan yang signifikan. Di bawah Para Group, Chairul memiliki sejumlah perusahaan di bidang finansial, yakni Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life, Para Multi Finance, Bank Mega, Mega Capital Indonesia, Bank Mega Syariah, dan Mega Finance.
Selain di bisnis keuangan, Para Group juga mulai fokus bisnis di bidang multimedia dengan mendirikan Trans TV. Kesuksesan Trans TV membawa induk perusahaannya, Trans Corp, pada Juni 2006 membuat MoU untuk membeli sebagian saham TV7 yang dipegang Kelompok Kompas Gramedia dan mengubah nama dan identitas perusahaan TV7 menjadi Trans7.
Pada bidang properti dan investasi, perusahaan Chairul Tanjung membawahi Para Bandung Propertindo, Para Bali Propertindo, Batam Indah Investindo, dan Mega Indah Propertindo. Para Group membangun Bandung Supermall yang diluncurkan pada tahun 1999 sebagai Central Business District dengan luas 3 hektare dengan menghabiskan dana Rp99 miliar.
Pada bidang investasi, melalui anak perusahaannya, Trans Corp, perusahaan Chairul Tanjung membeli sebagian besar saham Carefour Indonesia sebesar 40% dengan MoU (memorandum of understanding) pada tahun 2010. Pada 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan nama Para Grup menjadi CT Corp yang terdiri dari tiga perusahaan subholding, yaitu Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam.
Ulet dan Terus Berinovasi
Dapat dikatakan, kesuksesan Chairul Tanjung diraih berkat kerja keras dan semangat pantang menyerahnya. Chairul sudah beberapa kali menghadapi kegagalan saat menjalankan bisnisnya. Namun, dia tak pernah takut untuk memulai kembali bisnisnya. Selain itu, Chairul Tanjung juga menekankan pentingnya inovasi dalam bisnis di tengah perkembang zaman yang serba digital saat ini.
Menurutnya, keuletan adalah modal utama untuk mempertahankan bisnis, tetapi inovasi adalah senjata untuk memenangkan kompetisi.
Baca Juga: Kisah Sukses Dato Sri Tahir: Tentang Kesuksesan, Kebaikan, dan Kedermawanan
"Dulu, untuk bisa menang dalam kompetisi, kita hanya perlu lebih efisien dan produktif dari orang lain. Sekarang, tantangannya berubah. Untuk memenangkan kompetisi, diperlukan inovasi, kreativitas, dan entrepreneurship. Produktif dan efisien hanya cukup untuk bertahan. Untuk menang, kita perlu inovasi, kreatif, dan perlu pola pikir entrepreneurship," tegasnya.