Perkembangan pesat dalam bidang artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah membawa transformasi mendalam dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dunia kerja. Tak heran banyak pekerjaan yang sudah tergantikan oleh AI. Bahkan di dunia industri, alat atau robot bisa bekerja lebih baik dari manusia.
Meskipun AI menjanjikan peningkatan efisiensi dan inovasi, tetapi di balik potensinya itu juga menyimpan ancaman terhadap berbagai profesi pekerjaan. Teknologi AI ini dikhawatirkan akan membuat manusia menganggur di masa depan.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA, Jahja Setiaatmadja, pun menilai, tak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi ini telah menimbulkan disrupsi di berbagai sektor.
Ia pun lantas berpesan bahwa kreativitas harus terus diasah untuk memanfaatkan perkembangan teknologi (termasuk AI), sehingga memberikan nilai tambah bagi bisnis maupun kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, BCA juga memanfaatkan berbagai macam teknologi untuk mengoptimalkan layanan perbankan BCA untuk nasabah.
“Pengembangan teknologi di BCA, transformasi yang drastis termasuk dalam Application Programming Interface (API) dan penggunaan kecerdasan buatan atau AI. Ini sangat penting. Dengan AI kita melihat untuk melayani individual customer sehingga cepat dan mudah,” tutur Jahja.
Jahja menilai, saat ini AI semakin berkembang pesat dan telah merevolusi banyak aspek bisnis dan industri. Meski begitu, masih ada sejumlah pekerjaan yang sulit digantikan oleh teknologi. Pekerjaan atau profesi tersebut masih membutuhkan sentuhan manusia, kecerdasan emosional, dan kreativitas manusia.
“Saat ini segala pekerjaan harus dibikin AI, contoh services business, misalnya rumah sakit, perhotelan, perbankan, apakah 100% bisa robotik? Nonsense. Industri jasa itu deal with people. AI itu hanya membantu untuk repeating transaction, istilahnya berulang-ulang kira-kira sama, lalu membuat suatu yang dikembangkan dengan API,” papar jahja.
Baca Juga: Berawal dari Tukang Kaset, Yuk Intip Kisah Sukses Bos BCA Jahja Setiaatmadja
Lebih lanjut, Jahja menyebut, profesi yang membutuhkan empati, kepekaan terhadap konteks sosial, dan kemampuan berkomunikasi mungkin kurang cocok untuk otomatisasi.
“Di BCA sendiri apakah yang nanti bertemu nasabah korporasi itu diganti AI? Apakah kasir kita gak ada? Anda lihat saja, di BCA masih ada 8.500 orang yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dengan nasabah kita. Jadi, menurut saya, semua profesi itu jangan didefinisikan akan tergantikan AI. Tidak betul itu,” terang Jahja.
“Contohnya lagi restoran, kalau Anda lihat waktu order tuh banyak masuk di digital, diproses, makanan langsung disajikan. Kalaupun ada restoran yang pakai robot, rasanya pasti gak menarik. Dan rasanya belum ada di Indonesia (robot-robot yang bawa makanan). Kalau adapun 1-2. Apalagi kalau di warteg, mana bisa ada robot,” sambung Jahja.
Sebagai informasi, BCA sendiri terapkan untuk AI dan Big Data, yaitu computer fusion untuk documentation dan face recognition yang telah digunakan di aplikasi myBCA. Jika dengan face recognition, everything langsung smooth, tidak perlu mengetik user ID dan password.
Kemudian risk and fraud, jika dahulu sebelum di-computerize kita perlu memerlukan usaha lebih untuk mengumpulkan data, sekarang bisa cepat. Selain itu, dengan AI kita bisa mengkoneksikan data nasabah dengan data kependudukan, sehingga sekarang pembukaan rekening dapat dilakukan secara online.
Namun, kembali Jahja pun menegaskan bahwa tak semua lini bisnis bisa diotomatisasi dengan AI. Menurutnya, human touch dalam sebuah bisnis adalah hal penting sekali.
“Ya, bisnis-bisnis itu semua jangan didefinisikan bahwa semua profesi itu akan tergantikan AI. Tidak betul. Tetap, human touch itu penting sekali dalam semua bisnis. Jadi AI ini hanya membantu beberapa bisnis-bisnis yang repeating, yang sifatnya berulang-ulang, itu bisa dipercepat, simplify, dengan AI API Connection,” pungkas Jahja.
Baca Juga: Kontribusi Bakti BCA untuk Sektor Pendidikan di Indonesia, Ikut Tingkatkan Literasi Membaca Juga!