Kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Telkom Indonesia tengah menjadi sorotan publik beberapa waktu terakhir. Tiga pejabat telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembiayaan fiktif periode 2016–2018 dan telah merugikan negara hingga Rp431 miliar.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, turut menyoroti kasus dugaan korupsi yang kembali menyeret perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Ia menilai, kasus ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan pelat merah itu.

“Produk-produk dari Telkom itu pasti akan dinilai merugikan secara finansial kepada masyarakat. Karena biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh masyarakat itu lebih sedikit. Tapi ketika terjadi korupsi, maka yang terjadi adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli produknya Telkom akan lebih tinggi karena ada biaya korupsi tersebut,” ujar Nailul Huda saat berbincang dengan Olenka beberapa waktu lalu, dikutip, Kamis (5/6/2025).

Baca Juga: Kisruh Pembiayaan Fiktif Rp431 Miliar di PT Telkom

Pada akhirnya, lanjut Nailul, kasus korupsi di Telkom akan berdampak negatif terhadap kinerja bisnis perseroan. Sebab, kepercayaan publik yang menurun bisa memengaruhi loyalitas pelanggan. Masyarakat bisa mulai mempertanyakan efisiensi layanan dan mempertimbangkan beralih ke penyedia jasa lain yang dinilai lebih transparan dan bersih.

“Misalkan ada Indihome dan sebagainya, mereka pasti akan melihat apakah memang dari biaya Indihome ini ada yang bisa diefisiensikan, karena saat ini tidak efisien karena terjadi kasus korupsi. Tapi mereka pasti akan memikirkan  apakah menggunakan opsi provider lainnya, misalkan dari Indosat ataupun dari penyedia jasa internet lainnya,” papar Nailul.

Selain itu, kasus dugaan korupsi di Telkom juga dinilai dapat mengganggu kinerja saham perusahaan. Hal ini berkaitan erat dengan persepsi investor terhadap tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG). Jika kepercayaan investor terganggu, maka kinerja saham pun berpotensi menurun.

“Artinya, ini akan terjadi rapor hitam di GCG perusahaan Telkom. Ini yang dilihat sama investor bahwa ini tidak akan sustain dalam jangka menengah dan panjang apabila kasus korupsi ini terjadi secara masif dan tidak ditangani dengan baik oleh manajemen Telkom saat ini,” imbuhnya. 

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, Telkom tengah mengalami kasus dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan fiktif dengan total kerugian negara senilai Rp431 miliar. Kasus tersebut terdiri dari sembilan proyek fiktif yang dilakukan Telkom dengan sembilan perusahaan swasta.

Telkom diketahui bertindak sebagai penyedia barang dalam proyek tersebut. Untuk melaksanakan pengadaan, Telkom menunjuk empat anak usaha: PT Infomedia, PT Telkominfra, PT Pins, dan PT Graha Sarana Duta. Namun, barang yang dimaksud ternyata tidak pernah ada. Meski begitu, dana pengadaan tetap mengalir ke sejumlah perusahaan mitra, dan akhirnya berujung masuk ke rekening sembilan perusahaan lainnya.

Baca Juga: Apa Dampak Realisasi Merger Grab dan GoTo? Begini Kata Pengamat Celios

Senior Vice President Group Sustainability & Corporate Communication Telkom, Ahmad Reza, menyatakan bahwa dugaan kasus korupsi ini pertama kali terungkap dari hasil audit internal yang dilakukan Telkom pada tahun 2019. Temuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pendalaman lebih lanjut dan diserahkan kepada aparat penegak hukum.

Seiring dengan perkembangan penyidikan, tiga orang pejabat resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah August Hoth P. M., General Manager Enterprise Segment Financial Management Service PT Telkom periode 2017–2020; Herman Maulana, Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015–2017; serta Alam Hono, Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara 2016–2018.