Tahun 2024 yang lalu merupakan tahun penuh gejolak bagi bisnis dan para pemimpinnya. Pergantian CEO 'kelas dunia' mencapai rekor tertinggi.

Saat kita memmasuki 2025, LinkedIn pun belum lama ini membagikan ‘25 ide besar yang akan mengubah dunia’, salah satunya adalah munculnya CEO milenial yang menandai era baru kepemimpinan perusahaan.

Secara historis, para pemimpin perusahaan yang lebih muda seperti Mark Zuckerberg dan Brian Chesky dari Airbnb telah menjadi pendiri perusahaan. Namun, gelombang baru CEO milenial ini berbeda.

Banyak dari mereka bukanlah pendiri perusahaan rintisan. Sebaliknya, mereka adalah individu yang naik pangkat di perusahaan atau direkrut untuk merevitalisasi perusahaan lama. Misalnya, Damola Adamolekun menjadi CEO Red Lobster di usianya yang baru 35 tahun, sementara pemimpin milenial terkemuka lainnya termasuk Everette Taylor dari Kickstarter, Fidji Simo dari Instacart, dan Toby Z. Rice dari EQT Corporation.

Seiring tren ini semakin menguat, ada tiga alasan utama yang mendorong pergeseran ini. Apa saja?

1. Keselarasan Ideal dengan Prioritas Tenaga Kerja

Generasi milenial adalah kelompok generasi terbesar di AS, yang terdiri dari 72,7 juta orang dan mewakili mayoritas tenaga kerja saat ini. Dengan semakin banyaknya Gen Z yang memasuki pasar tenaga kerja, perusahaan mungkin menganggap perekrutan CEO milenial menguntungkan—tidak hanya sebagai cerminan demografi tenaga kerja tetapi juga sebagai pemimpin yang secara inheren memahami prioritas karyawan mereka yang terus berkembang.

Generasi milenial memprioritaskan organisasi yang berorientasi pada misi di mana tujuan lebih diutamakan daripada keuntungan. Generasi ini menghargai integrasi kehidupan kerja daripada pemisahan tradisional antara jam kantor dan waktu pribadi.

Lebih jauh lagi, para pemimpin milenial sering kali menekankan keselarasan budaya dan kesejahteraan holistik, termasuk inisiatif kesehatan mental, yang sangat sesuai dengan tenaga kerja saat ini.

Dengan menyelaraskan nilai-nilai ini, para CEO milenial dapat memposisikan organisasi mereka sebagai pemberi kerja pilihan, meningkatkan daya tarik dan tingkat retensi bakat di pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.

2. Konektivitas yang Lebih Baik Melalui Kecerdasan Emosional

Moral karyawan telah menjadi topik hangat, terutama di tengah perdebatan yang sedang berlangsung mengenai kerja jarak jauh vs. kerja di kantor.

Meskipun tidak ada pemimpin yang dapat memperoleh persetujuan universal, para CEO milenial sering kali membawa pendekatan yang menyegarkan terhadap kepemimpinan, terutama melalui kecerdasan emosional dan keterampilan lunak mereka.

Seperti yang dicatat dengan tepat oleh Ofo Ezeugwu, CEO WYL, "Ini bukan hanya tentang inovasi — ini tentang koneksi. Kami adalah jembatan. Generasi milenial mahir dalam mendengarkan, berkomunikasi, dan berkolaborasi lintas generasi." Mereka menciptakan lingkungan yang inklusif di mana berbagai perspektif dirayakan dan dimanfaatkan, yang mengarah pada kerja tim yang lebih kuat dan pemecahan masalah yang lebih inovatif.

Dalam dinamika tempat kerja yang kompleks saat ini, para pemimpin milenial yang mampu terhubung lebih baik secara emosional dan budaya dengan karyawan merupakan manfaat tambahan.

Baca Juga: Bos JPMorgan: Perjalanan Bisnis Sangat Penting Bagi Para CEO

3. Teknologi dan Inovasi

Para CEO milenial tumbuh di tengah pesatnya kemajuan teknologi, yang memberi mereka potensi keunggulan alami dalam menavigasi lanskap digital saat ini. Kefasihan digital dan kenyamanan mereka dengan teknologi baru seperti AI, blockchain, dan otomatisasi menjadikan mereka pemimpin yang lebih siap menghadapi masa depan.

 Di era di mana tetap kompetitif sering kali berarti beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan, berbagai organisasi mengandalkan CEO milenial untuk merangkul disrupsi dan mendorong inovasi. Kemauan mereka untuk bereksperimen dan mengadopsi perangkat canggih memberi perusahaan keunggulan kompetitif dibanding mereka yang lambat berkembang.

Akankah CEO Milenial Menjadi Norma Baru?

Jumlah CEO milenial terus bertambah. Namun, mereka masih jauh dari mayoritas. Apakah tren ini akan tumbuh dan menjadi norma masih belum pasti. Di satu sisi, milenial dikenal membawa perspektif baru, kemampuan beradaptasi, dan ketertarikan alami terhadap inovasi.

Fokus mereka pada kepemimpinan yang berorientasi pada tujuan dan kecerdasan emosional sangat sejalan dengan nilai-nilai tenaga kerja saat ini. Di sisi lain, milenial tidak memiliki pengalaman puluhan tahun dan pengetahuan kelembagaan yang tetap tak ternilai, khususnya dalam industri yang sangat mementingkan stabilitas dan kontinuitas.

Memasuki tahun 2025 dan seterusnya, perusahaan kemungkinan perlu menyeimbangkan energi dan inovasi kaum muda dengan kebijaksanaan dan keteguhan kepemimpinan yang berpengalaman untuk menavigasi lanskap bisnis yang terus berkembang.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Buku untuk Membantu CEO Memaksimalkan Potensi Tim Mereka