Pada tahun 2025, perusahaan di Asia-Pasifik diproyeksikan memasuki era baru kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Dari sekadar eksperimen awal, fokus kini bergeser menuju evaluasi mendalam atas Return on Investment (ROI) dan pemanfaatan AI sebagai penggerak utama transformasi bisnis. Pergeseran ini menandai langkah strategis dalam membangun fondasi pertumbuhan jangka panjang, dengan memanfaatkan model open-source, integrasi teknologi yang lebih mulus, dan tata kelola AI yang lebih matang.
Roy Kosasih, Presiden Direktur IBM Indonesia, menyatakan bahwa banyak perusahaan di Indonesia kini mulai melangkah dari tahap eksplorasi menuju penerapan AI untuk mencapai keunggulan kompetitif.
"Banyak bisnis di Indonesia yang awalnya hanya bereksperimen dengan AI kini siap memasuki tahap berikutnya. Dengan pendekatan berbasis arsitektur open-source yang fleksibel, perusahaan dapat memanfaatkan AI untuk tujuan strategis, meningkatkan ROI, dan mendorong inovasi jangka panjang," ujarnya.
Baca Juga: Adopsi Kecerdasan Buatan (AI) Bantu Industri Tekan Kerugian Akibat Kebocoran Data
Laporan "APAC AI Outlook 2025" yang dirilis oleh IBM mengungkapkan bahwa lebih dari 54% organisasi di Asia-Pasifik percaya bahwa investasi AI mereka akan menghasilkan manfaat jangka panjang seperti inovasi berkelanjutan dan peningkatan pendapatan. Laporan ini juga mencatat bahwa hampir 60% perusahaan yakin manfaat investasi AI akan terasa dalam dua hingga lima tahun mendatang. Sebaliknya, hanya 11% yang berharap ROI terjadi dalam dua tahun pertama.
Pada tahun 2025, perusahaan di kawasan ini akan memusatkan investasi mereka pada tiga area utama:
1. Pengalaman Pelanggan (21%), dengan fokus pada personalisasi dan peningkatan kepuasan pelanggan.
2. Otomasi Proses Back-Office (18%), untuk memaksimalkan efisiensi operasional.
3. Otomasi Penjualan dan Manajemen Siklus Hidup Pelanggan (16%), yang bertujuan meningkatkan loyalitas pelanggan sekaligus meningkatkan pendapatan.
Namun, upaya transformasi ini menghadapi berbagai tantangan. Kompleksitas data menjadi hambatan terbesar (39%), diikuti oleh tingginya biaya implementasi solusi AI (36%), serta minimnya use case yang teridentifikasi (35%).
Baca Juga: Hasil Penelitian: Ini 10 Tren Kecerdasan Buatan yang Bakal Populer pada Tahun 2030
Untuk diketahui, Asia-Pasifik berada di garis depan revolusi AI global, dengan perusahaan-perusahaan di kawasan ini memanfaatkan teknologi untuk mendukung inovasi bisnis sekaligus menciptakan dampak sosial yang positif. Fokus pada strategi berbasis open-source, integrasi yang lancar, dan tata kelola yang etis menunjukkan bagaimana teknologi ini dapat berfungsi untuk kebaikan bersama.
Roy Kosasih menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara inovasi teknologi dan dampak humanistik. "AI adalah alat yang harus digunakan untuk meningkatkan manusia, bukan menggantikan mereka. Dengan visi ini, kita dapat membangun masa depan yang harmonis antara manusia dan teknologi," pungkasnya.
Dengan adopsi AI yang semakin strategis, Asia-Pasifik siap memimpin pengembangan dan penerapan teknologi ini secara global, menciptakan era baru kolaborasi antara manusia dan mesin yang saling mendukung.