Growthmates, perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) membawa kita pada persimpangan penting, yaitu apakah teknologi ini akan menjadi akselerator bersejarah bagi kepemimpinan perempuan, atau justru menjadi penghalang baru?
Jawabannya sangat bergantung pada pilihan dan strategi yang kita ambil sekarang.
Peluang AI bagi Pemimpin Perempuan
Dikutip dari Forbes, Senin (25/8/2025), tren global menunjukkan adanya kemajuan. Menurut analisis Pew Research Center terhadap Survei Komunitas Amerika 2023, persentase perempuan di posisi manajerial meningkat dari 29% pada 1980 menjadi 46% pada 2023.
Meski demikian, menurunnya representasi perempuan di tiap tingkatan organisasi menuju level eksekutif masih menjadi tantangan. Namun, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) 'Kesetaraan Gender di Era Kecerdasan AI' memberi secercah harapan.
Di bidang STEM, perempuan justru memegang porsi peran direktur lebih tinggi dibandingkan manajer, meski jumlahnya menurun tajam pada level wakil presiden. Ini menandakan kesetaraan gender dalam kepemimpinan masih sangat mungkin dicapai, asalkan AI digunakan dengan tepat.
Dengan mengotomatiskan tugas-tugas rutin, AI berpotensi membebaskan waktu perempuan untuk berfokus pada aktivitas bernilai tinggi seperti jejaring strategis, pembuatan keputusan besar, hingga penciptaan visi jangka panjang. Lebih jauh, munculnya sektor-sektor baru yang dibentuk AI juga membuka kesempatan bagi perempuan untuk menduduki posisi kunci dalam arena ekonomi masa depan.
Kesetaraan gender di kepemimpinan bukan hanya tentang keadilan, tetapi juga inovasi, sebuah kebutuhan mendesak di tengah transformasi teknologi yang semakin cepat.
Namun, meski peluang besar terbuka, risiko juga nyata. Artikel TIME “Mengapa Begitu Banyak Perempuan Berhenti dari Dunia Kerja” menyoroti penurunan partisipasi kerja perempuan, bahkan pada mereka yang bergelar sarjana.
Analisis Third Way juga menunjukkan jurang yang makin lebar antara perempuan dengan dan tanpa gelar dalam hal partisipasi tenaga kerja.
Lebih mengkhawatirkan, perempuan lebih sering berada di peran yang berisiko tergantikan oleh AI, sementara kurang terwakili di posisi yang justru diuntungkan dengan dukungan teknologi. Jika dibiarkan, hal ini bisa memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial bagi perempuan di masa depan.
Tiga Prioritas untuk Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Era AI
Nah, agar perempuan tidak hanya bertahan, tetapi juga melesat ke puncak kepemimpinan, setidaknya ada tiga prioritas yang perlu diutamakan, yaitu:
1. Mengatasi bias dalam AI dan sistem kerja
AI harus digunakan untuk memperbaiki rekrutmen, evaluasi, dan promosi talenta. Audit rutin perlu dilakukan untuk mendeteksi serta mengoreksi bias sebelum memengaruhi keputusan penting terkait karier.
2. Menghapus ‘penurunan ke puncak’
Dukungan berlapis diperlukan, mulai dari level pemula hingga senior, terutama di sektor yang terintegrasi AI. Jika tidak, perempuan berisiko tertinggal dalam jangka panjang dari segi sosial maupun ekonomi.
3. Menerapkan kembali kebijakan kerja fleksibel dan hibrida
TIME mencatat bahwa pencabutan fleksibilitas kerja menjadi alasan utama perempuan keluar dari dunia kerja.
Fleksibilitas harus disertai dengan sistem promosi yang adil, sehingga pekerja jarak jauh atau hibrida tidak terkena penalti karier. Jalur kepemimpinan juga perlu menyesuaikan dengan berbagai tahap kehidupan dan tanggung jawab pengasuhan.
Nah Growthmates, revolusi AI bergerak cepat, dan jendela untuk memastikan kesetaraan gender dalam kepemimpinan semakin menyempit. Tanpa intervensi strategis, kesenjangan bagi perempuan di dunia kerja, terutama pada posisi kepemimpinan akan semakin melebar.
Sebaliknya, perusahaan yang berani mengambil langkah untuk mengatasi bias, menghapus hambatan struktural, dan mempertahankan fleksibilitas kerja akan berada di posisi unggul.
Mereka bukan hanya menjaga keberadaan pemimpin perempuan, tetapi juga memanfaatkan potensi penuh seluruh tenaga kerja di era AI.
Semoga informasinya bermanfaat, ya!