Belakangan ini, banyak pihak yang membicarakan tentang literasi digital. Kira-kira, seberapa penting literasi digital di Indonesia? Berdasarkan laporan Status Literasi Digital Indonesia 2023 yang dirilis Kominfo, indeks literasi digital nasional ada di angka 3,65 dari skala 1-5. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat literasi digital di Indonesia saat ini masih di perlu ditingkatkan supaya lebih optimal.
Didukung juga oleh situasi pandemi COVID-19 telah mempercepat proses digitalisasi dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, dan ditemukan banyak berita bohong yang telah bermunculan sehingga menimbulkan kepanikan bagi masyarakat yang mempercayainya. Untuk itu, kegiatan dalam meningkatkan literasi digital perlu mendapat sorotan lebih agar masyarakat Indonesia bisa semakin dewasa dalam bermedia terutama menggunakan media digital dan Internet.
Baca Juga: 7 Peran Orang Tua dalam Perkembangan Literasi Digital Anak
Sebelum melangkah lebih jauh, masyarakat harus paham terlebih dahulu mengenai definisi literasi digital. Pada tahun 2018 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital.
Sedangkan menurut International Society for Technology in Education (ISTE), literasi digital memiliki tolok ukur dengan 6 standar yakni: kreativitas dan inovasi, komunikasi dan kolaborasi, kelancaran penelitian dan informasi, berpikir kritis, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, kewarganegaraan digital, dan operasi teknologi dan konsep. Jadi, literasi digital lebih dari sekadar pengetahuan teknologi namun mencakup berbagai praktik etika, sosial, dan reflektif yang tertanam dalam pekerjaan, pembelajaran, waktu luang, dan kehidupan sehari-hari.
Sejatinya, ada beberapa faktor yang menjadi alasan literasi digital perlu dianggap penting oleh Indonesia, di antaranya Teknologi Informasi dan Telekomunikasi (TIK), komersialisasi data, derasnya arus informasi yang beredar, perkembangan teknologi, dan peluang pemberdayaan masyarakat.
Mengutip dari Kominfo pada Rabu (24/04/2024), peniliti Center For Digital Society (CFDS) UGM Dewa Ayu Diah A mengatakan bahwa penetrasi peningkatan penetrasi TIK bisa mencapai tiga kali lipat hanya dalam waktu tidak sampai satu dekade.
"Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menunjukkan kepemilikan telepon genggam di Indonesia sebanyak 355 juta, dan jumlah pengguna internet sebanyak 171 juta jiwa. Jika melihat ke belakang pada tahun 2010 angka penetrasi internet Indonesia hanya 50 juta jiwa," terangnya.
Baca Juga: Bangkitkan Minat Baca Generasi Z dengan Literasi Digital, Gimana Caranya?
Kemudian, faktor komersialisasi data juga perlu menjadi pertimbangan lantaran Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan pernyataan 'data is a new oil'. Hal tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Bila dicermati, deretan 10 orang terkaya dunia versi Majalah Forbes, pasti di antaranya ada deretan nama-nama CEO digital media.
Derasnya arus informasi menjadi faktor selanjutnya, dengan terjadinya transformasi digital tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak juga disinformasi yang beredar. Disinformasi dapat ditemui pada segala sektor, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan.
Lebih lanjut, literasi digital juga penting karena perkembangan teknologi yang semakin cepat. Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia, tetapi dalam pemanfaatannya juga menuntut kecakapan penggunanya.
Faktor terakhir peluang pemberdayaan masyarakat seperti aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi mengacu pada peningkatan aset dan penghasilan, sedangkan aspek sosial mengacu pada peningkatan pengetahuan dan kapabilitas pengguna internet.
Namun salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia ialah masih adanya kesenjangan atas akses informasi melalui teknologi digital, terutama bagi masyarakat yang hidup pada garis kemiskinan, tinggal di pedesaan, berusia lanjut, dan penyandang disabilitas.
“Masalah yang ada, yaitu belum meratanya tingkat adopsi TIK di Indonesia, belum berimbang antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan,” terang Diah.
Pada survey APJII pada tahun 2017 menggambarkan angka penetrasi internet di perkotaan dan pedesaan ialah 72,41% vs 48,25%. Sedangkan mayoritas pengguna berada pada rentang usia 15 – 19 tahun, dan hanya 16,2% yang berusia di atas 60 tahun.
Tantangan lainnya ialah berdasarkan data dari Japelidi pada tahun 2018 pendidikan literasi digital mayoritas masih dilaksanakan pada level perguruan tinggi. Padahal mayoritas pengguna aktif internet tidak hanya ada pada perguruan tinggi.
Kesempatan yang tidak berimbang ini seringkali disebut dengan kesenjangan digital. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan digital ialah usia, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.
"Premisnya semakin tua seseorang, semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan maka semakin kecil peluangnya dari optimasi pemanfaatan teknologi termasuk literasi digital,” papar Diah.
Oleh karena itu, pemerintah dan stakeholder terkait perlu sama-sama meningkatkan kembali suatu program literasi digital untuk menghempaskan kesenjangan digital di Indonesia.