Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) bersepakat melakukan pembagian beban (burden sharing) demi mendukung sejumlah program strategis Pemerintah Prabowo Subianto seperti pembiayaan program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes/Kel).

Skema ini diatur dalam Keputusan Bersama (KB) yang memuat pembagian beban bunga atas obligasi pemerintah yang diterbitkan untuk kedua program tersebut. Dalam pelaksanaannya, BI dan Kemenkeu berkomitmen untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang kuat.

Baca Juga: Gerakan 17+8 dan Simbol Perlawanan Sipil

"Sinergi tetap mengacu pada prinsip-prinsip kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati dengan terus menjaga disiplin dan integritas pasar," demikian bunyi keterangan tertulis bersama kedua lembaga, Senin (8/9/2025).

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso mengatakan, kebijakan ini menjadi bagian dari upaya mengurangi beban biaya terkait program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita dan menjaga stabilitas perekonomian melalui sinergi kebijakan fiskal dan moneter.

"Dukungan Bank Indonesia ditempuh tetap sesuai dengan kaidah kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent monetary policy)," ujarnya. 

Dari sisi kebijakan fiskal, Kemenkeu akan mengelola APBN secara hati-hati dengan mengoptimalkan penerimaan dan mengarahkan belanja ke sektor-sektor yang memiliki dampak pengganda luas, termasuk program perumahan rakyat dan dukungan pinjaman untuk Kopdes/Kel Merah Putih. Defisit APBN 2025 diperkirakan tetap rendah dan didukung oleh pembiayaan yang profesional.

Sementara itu, BI akan terus menempuh bauran kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas. BI telah menurunkan BI-Rate sebesar 125 bps sejak September 2024, yang kini berada di level terendah sejak 2022.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI melakukan intervensi di pasar dalam dan luar negeri, serta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Hingga akhir Agustus 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, termasuk melalui skema debt switching dengan pemerintah.

Ancaman Inflasi

Burden sharing untuk membiayai berbagai proyek pemerintah oleh sejumlah pakar dinilai sangat riskan terdampak sejumlah risiko fatal, salah satunya adalah ancaman inflasi sebagaimana yang disampaikan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara. 

"Ancaman Inflasi akibat uang beredar naik, tidak disertai kenaikan permintaan riil," jelas Bhima.

Baca Juga: Unjuk Rasa, Hoaks dan Upaya Mengadu Domba Prabowo dengan Keluarga Jokowi

Lebih jauh, ia menyoroti dampak jangka panjang terhadap reputasi fiskal Indonesia. Kredibilitas pemerintah berpotensi tertekan apabila skema ini terus dipakai untuk membiayai program yang bermasalah.

"Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) terancam downgrade karena BI membiayai program yang bermasalah terutama Kopdes MP (Merah Putih)," tegas Bhima.

Bhima juga menyoroti skema burden sharing yang tidak dilakukan pada masa krisis. Burden sharing sendiri pernah dilakukan juga oleh BI, pada masa Pandemi COVID-19.

"Burden sharing dilakukan tidak pada saat krisis (kecuali memang pemerintah dan BI menganggap saat ini kondisi krisis)," tuturnya. 

Disi lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan skema pembiayaan seperti sama sekali tak berdampak buruk pada iklim ekonomi Indonesia, dia bahkan mengatakan burden sharing tak berimbas pada ancaman inflasi, untuk itu dia meminta masyarakat tak terlampau mengkhawatirkan hal itu. 

 “Inflasi kan relatif terjaga, bahkan bulan kemarin deflasi. Jadi, pertumbuhannya inflasinya 2,31 persen secara tahunan (year on year),” tuturnya.

Menurutnya, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit lebih besar sehingga menggerakkan sektor riil.

“Dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah, diharapkan kredit bisa didorong lagi agar sektor riil bisa bergerak,” tandasnya.