Di tengah percepatan teknologi dan penetrasi kecerdasan buatan (AI) di berbagai sektor industri, muncul pertanyaan besar, apakah AI akan menggantikan manusia?

Menjawab hal tersebut, Rina Suryani, Corporate Social Responsibility Leader IBM Indonesia, menegaskan bahwa meskipun AI membawa perubahan besar, peran manusia terutama empati, tidak tergantikan.

“AI itu mesin. Mesin bisa bekerja 24 jam tanpa lelah, tapi empati hanya dimiliki manusia. Itu yang tidak bisa digantikan,” tutur Rina, saat acara Demo Day Perempuan Inovasi 2025 “Menjadi Changemaker di Era AI: Kekuatan Perempuan dalam Transformasi Profesi” yang diselenggarakan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (10/12/2025).

Rina menjelaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan repetitif kini semakin mudah diotomatisasi. Banyak posisi entry-level pun tergeser oleh teknologi. Namun menurutnya, hal ini bukan berarti peluang manusia hilang, justru beralih.

Ia mencontohkan bagaimana di beberapa pabrik, termasuk salah satu pabrik yang pernah bekerja sama dengan IBM, proses quality control kini dijalankan oleh mesin.

“Kalau manusia yang quality control, pasti ada miss karena capek atau keterbatasan. Mesin bisa bekerja 24/7 tanpa henti,” jelasnya.

Tapi, alih-alih menghilangkan pekerja, kata Rina, struktur tenaga kerja berubah. Menurutnya, manusia kini bertugas mengoperasikan dan mengecek mesin, bukan melakukan pengecekan manual.

“Talentnya digeser. Bukan lagi quality control manual, tapi memastikan mesin yang menjalankan proses itu bekerja dengan benar,” tambah Rina.

Karena itu, kata Rina, keterampilan yang paling dibutuhkan hari ini adalah kemampuan memahami dan menggunakan AI, terlepas dari bidang pekerjaan.

“Ke depan, hampir semua lini seperti marketing, customer service, pabrik, akan pakai AI. Jadi skill yang diperlukan adalah kemampuan mengadopsi dan memahami AI itu sendiri,” katanya.

Dijelaskan Rina, IBM pun menggandeng berbagai pihak untuk memperluas akses pembelajaran AI, termasuk melalui kurikulum pembelajaran AI gratis yang mudah dipahami.

Baca Juga: Perempuan Inovasi 2025 Menjadi Panggung Kekuatan Perempuan di Era Transformasi AI

 

Etika AI

Di tengah penggunaan AI yang semakin luas, termasuk generative AI yang memunculkan isu copyright, Rina menekankan bahwa etika adalah fondasi yang tak boleh dilupakan.

Ia mencontohkan kasus di mana IBM menolak sebuah proyek besar di Amerika Serikat. Proyek tersebut menawarkan pembuatan alat pengingat minum obat bagi lansia, menggunakan hologram anak atau cucu mereka.

“Secara bisnis itu peluang besar. Tapi secara etika, kami tidak mau. Karena itu membuat lansia percaya mesin adalah anaknya. Itu tidak benar,” tegasnya.

Menurut Rina, AI tidak boleh menyamar sebagai manusia atau menggantikan hubungan emosional keluarga.

Di level penggunaan sehari-hari pun, etika harus dijaga. Ia memberi contoh soal penggunaan ChatGPT untuk membuat email.

“Teman-teman banyak yang pakai ChatGPT untuk email. Tapi bacalah ulang. Kadang ada kalimat yang terlalu ‘flowery’, tidak natural. Itu mesin. Kita harus kritis,” ujarnya.

Ia pun kemudian menekankan pentingnya human oversight, yakni menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti keputusan manusia.

“AI membantu, tapi editing tetap harus pakai bahasa kita sendiri. Kuncinya adalah kritis, dan selalu kembalikan ke nilai-nilai manusia,” tutup Rina.

Baca Juga: AI Tidak Akan Menggantikan Peran Perempuan, Justru Menjadi Mitra dalam Pendidikan