Kapas (Gossypium spp.) merupakan komoditas perkebunan strategis yang menjadi bahan baku utama industri tekstil. Sebagai negara dengan potensi agraris yang besar, Indonesia memiliki peluang untuk mencapai swasembada kapas.
Namun, hingga kini, kebutuhan kapas nasional masih bergantung pada impor. Mengutip data dari Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2023, Badan Pusat Statistik pada Kamis (26/12/2024), nilai impor kapas Indonesia mencapai US$1,52 miliar setara dengan Rp24 triliun, dengan volume sebesar 467 ribu ton.
Beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah penghasil kapas. Sejatinya, Indonesia memiliki potensi untuk mencapai swasembada kapas, mulai dari ketersediaan lahan, pengelolaan plasma nutfah, hingga pengembangan teknologi budidaya kapas.
Baca Juga: Tak Hanya Lezat, Ini Deretan Manfaat Luar Biasa Cokelat untuk Kesehatan
Kendati demikian, produksi kapas nasional masih sangat rendah. Kementerian Pertanian mencatat, pada tahun 2020, produksi kapas nasional hanya mencapai 127 ton dengan luas areal tanam 703 hektar, menurun 54,6% dari tahun sebelumnya.
Salah satu tantangan utama adalah konversi lahan. Banyak lahan potensial yang dialihfungsikan untuk tanaman lain atau pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong alokasi lahan untuk kapas perlu direncanakan dengan baik.
Pemerintah dapat memberikan insentif kepada petani yang menanam kapas, sekaligus meningkatkan akses mereka terhadap teknologi pertanian modern. Selain itu, penurunan permintaan atas benang kapas produksi Indonesia juga menjadi faktor yang memengaruhi konsumsi kapas domestik.
Pada tahun 2023, konsumsi kapas di dalam negeri diprediksi menurun ke level terendah dalam 30 tahun terakhir, yaitu sekitar 1,6 juta bal, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,7 juta bal.
Baca Juga: Mengenal Produk Turunan Kelapa Sawit
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan produksi kapas nasional, diperlukan upaya terpadu antara pemerintah, petani, dan industri tekstil. Langkah-langkah seperti pengembangan varietas unggul, peningkatan produktivitas lahan, serta pemberian insentif bagi petani kapas dapat menjadi solusi untuk mencapai swasembada kapas di Indonesia.
Pengelolaan Plasma Nutfah sebagai Kunci
Badan Standardisasi Instrumen Perkebunan (BSIP) Tanaman Pemanis dan Serat, sebelumnya dikenal sebagai Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), terus menunjukkan komitmennya dalam pengelolaan plasma nutfah kapas sebagai aset genetik strategis.
Di bawah Pusat Standarisasi Instrumen Perkebunan, Kementerian Pertanian, telah mengelola koleksi plasma nutfah kapas mencapai 843 aksesi. Koleksi ini mencakup spesies kapas utama seperti Gossypium hirsutum, G. barbadense, G. arboreum, dan G. herbaceum.
Koleksi plasma nutfah kapas ini tidak hanya menjadi sumber daya genetik yang penting tetapi juga menjadi dasar utama untuk pengembangan varietas unggul di Indonesia. Upaya pemuliaan kapas oleh Kementeria Pertanian telah menghasilkan varietas unggul seperti Kanesia 8 dan Kanesia 9, yang dirancang untuk mendukung program swasembada kapas nasional.
Varietas ini memiliki keunggulan panjang serat 29–30 mm, dengan kekuatan dan kehalusan yang sesuai dengan standar industri tekstil. Selain itu, varietas ini bersifat genjah (berumur pendek), adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan tropis, dan memiliki potensi hasil yang tinggi.
Dalam pengembangan lebih lanjut, penelitian terkini juga diarahkan untuk menghasilkan varietas yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta adaptif terhadap perubahan iklim. Inovasi ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor kapas, yang saat ini masih sangat tinggi.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah adopsi varietas unggul oleh petani. Meskipun varietas seperti Kanesia 8 dan Kanesia 9 memiliki keunggulan yang signifikan, banyak petani masih ragu untuk mengadopsi varietas baru. Hal ini sering disebabkan oleh kurangnya informasi yang memadai dan minimnya pendampingan teknis.
Aspek Teknis lain dan Peluang Pengembangan
Transformasi teknologi dalam budidaya kapas telah membawa dampak signifikan terhadap keberlanjutan dan efisiensi di sektor pertanian. Salah satu inovasi utama adalah sistem tanam tumpangsari yang memungkinkan kapas dibudidayakan bersama tanaman lain seperti jagung, kacang tanah, atau kedelai. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi penggunaan lahan tetapi juga diversifikasi pendapatan bagi petani.
Data terbaru menunjukkan bahwa metode ini mampu meningkatkan produktivitas lahan hingga 30% dibandingkan dengan sistem monokultur, sambil menjaga kesuburan tanah melalui rotasi tanaman.
Pengelolaan sumber daya yang efisien, khususnya air, menjadi prioritas dalam budidaya kapas, terutama di wilayah dengan akses air terbatas. Teknologi seperti irigasi tetes dan penggunaan mulsa organik telah diadopsi secara luas, memungkinkan tanaman mendapatkan pasokan air optimal tanpa pemborosan.
Baca Juga: Bersih-bersih Kementan Demi Masa Depan Petani yang Lebih Baik
Penelitian menunjukkan bahwa teknologi irigasi tetes dapat menghemat hingga 50% penggunaan air sekaligus meningkatkan hasil panen kapas sebesar 20%. Inovasi ini menjadikan budidaya kapas lebih efisien dan berkelanjutan, bahkan di wilayah dengan tantangan lingkungan yang tinggi.
Kemajuan bioteknologi juga memainkan peran penting melalui pengembangan varietas unggul seperti kapas transgenik. Misalnya, kapas Bt yang mengandung gen dari Bacillus thuringiensis mampu melindungi tanaman dari hama utama seperti ulat grayak, sekaligus meningkatkan hasil panen hingga 25% dan mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia.
Dampak sosial dan ekonomi dari adopsi teknologi ini sangat besar, termasuk peningkatan kesejahteraan petani melalui diversifikasi pendapatan, efisiensi biaya operasional, dan pendekatan ramah lingkungan. Ke depan, dukungan kebijakan yang kuat diperlukan untuk mencapai swasembada kapas, seperti subsidi benih dan alat mesin pertanian serta pembangunan infrastruktur.
Dengan mengurangi ketergantungan pada impor dan memanfaatkan potensi lahan yang ada, Indonesia berpeluang besar menjadi eksportir kapas global, memperkuat ekonomi nasional, dan menciptakan ekosistem pertanian yang tangguh dan berkelanjutan.