Namun demikian, Ananta menilai tantangan ke depan terletak pada kemampuan menjaga keseimbangan antara program populis dan keberlanjutan fiskal. Ia menyoroti pentingnya efektivitas program besar seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih agar tidak menimbulkan beban fiskal jangka panjang.
“Program-program kerakyatan ini sangat strategis, tapi harus diimbangi dengan audit efektivitas dan efisiensi pembiayaan, serta tata kelola yang transparan. Kuncinya adalah memastikan manfaatnya tepat sasaran tanpa menambah tekanan fiskal negara,” tegasnya.
Lebih jauh, Ananta juga mendorong agar pemerintah mengalihkan belanja negara dari subsidi konsumtif ke arah subsidi produktif, terutama pada sektor pendidikan vokasi, teknologi pertanian, UMKM, dan infrastruktur logistik. Ia juga menilai koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus semakin erat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi di kisaran ideal 2,5–3,5%.
“Indonesia perlu memperkuat hilirisasi berkelanjutan, tidak hanya bergantung pada sektor tambang seperti nikel dan bauksit, tetapi juga memperluas hilirisasi agroindustri dan ekonomi hijau seperti energi terbarukan dan biofuel. Diversifikasi inilah yang akan menjadi mesin pertumbuhan baru,” tutur Ananta.
Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan daya saing UMKM dan percepatan pemerataan ekonomi digital di luar Jawa.
“Ekonomi digital bisa menjadi jembatan pemerataan, tapi prasyaratnya adalah infrastruktur internet dan literasi digital yang kuat,” tambahnya.
Ananta miliki optimisme bahwa pemerintahan Prabowo sudah berada di jalur yang benar menuju transformasi ekonomi nasional.
“Dengan disiplin fiskal, industrialisasi hijau, dan pemerataan digital, Indonesia sedang menyiapkan diri menjadi kekuatan ekonomi baru dunia menuju visi Indonesia Emas 2045,” pungkasnya.