Dunia medis Indonesia memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya, teknologi bedah otak berbasis robot hadir melalui peluncuran Brainlab Cirq Robotic Suite, yang diperkenalkan dalam ajang Siloam Neuroscience Summit (SNS) 2025 di Ballroom Shangri-La Hotel, Jakarta, belum lama ini.

Bidang bedah otak dikenal sebagai salah satu disiplin paling kompleks dalam dunia kedokteran. Presisi dalam hitungan milimeter menjadi penentu keberhasilan. Kehadiran Brainlab Cirq Robotic Suite memberikan terobosan besar melalui navigasi robotik berakurasi tinggi, risiko komplikasi yang lebih rendah, serta pemulihan pasien yang lebih cepat.

“Bedah saraf adalah urusan milimeter, bahkan kurang. Dengan bantuan robot dan navigasi, kami bisa lebih presisi sehingga operasi berjalan aman dan hasilnya optimal. Pasien dan keluarga hanya ingin hasil yang beres, aman, dan itu yang menjadi tanggung jawab kami,” jelas Prof. Dr. dr. Julius July, Sp.BS(K), M.Kes, IFAANS, Chairman SNS sekaligus konsultan neurosurgeon di bidang Viro Oncology, saat ditemui Olenka usai Press Conference Siloam Neuroscience Summit 2025, di Ballroom Shangri-La Hotel, Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

Prof. Julius menegaskan bahwa esensi teknologi robotik bukan soal prestise, melainkan soal keselamatan.

“Bukan soal membeli robot, karena siapa saja yang punya uang bisa melakukannya. Bukan juga soal menjadi dokter hebat. Yang penting adalah menjadi dokter yang baik, yang mampu menggunakan fasilitas apapun untuk menolong pasien. Kesembuhan pasien adalah inti dari segalanya,” tegasnya.

Baginya, peran robot dalam operasi bukan untuk menggantikan dokter, melainkan melengkapi keterbatasan manusia. Ia menganalogikan fungsinya seperti sistem navigasi pada pesawat terbang.

“Robot ini bukan menggantikan saya untuk operasi. Salah besar kalau berpikir begitu. Justru robot menyatu dengan saya, melengkapi kekurangan manusia. Sama seperti pilot butuh radar, kami butuh navigasi tambahan untuk memastikan jalannya operasi,” ujarnya.

Prof. Julius juga menambahkan bahwa dalam operasi bedah saraf, dokter sering kali berhadapan dengan struktur vital seperti pembuluh darah, saraf, dan jaringan otak yang sangat rapat.

“Memastikan panduan lokasi itu penting, karena semua struktur di dasar tengkorak sangat berdekatan. Navigasi robot membantu kami untuk konfirmasi ulang. Saat operasi, tidak ada yang bisa kami tanyakan. Robot hadir untuk menutupi kekurangan manusia, memberi kami rekonfirmasi, sehingga hasil operasi bisa maksimal,” paparnya.

Ia pun menegaskan, inti dari teknologi robot ini sendiri adalah safety.

“Penggunaan robot ini bukan semata-mata kecepatan, melainkan kepastian dan ketepatan. Tujuan akhirnya hanya satu: keamanan pasien,” tambahnya.

Baca Juga: Siloam Neuroscience Summit 2025 Catat Sejarah, Robot Bedah Otak Pertama Hadir di Indonesia, Seperti Apa?

Dari Pionir ke Transformasi Nasional

Kehadiran Brainlab Cirq melengkapi portofolio teknologi robotik di jaringan Siloam Hospitals, yang sebelumnya sudah menggunakan Da Vinci Xi untuk bedah digestif, urologi, dan obsgyn, serta CUVIS Joint untuk bedah ortopedi. Namun, bagi Prof. Julius, langkah ini lebih dari sekadar prestasi institusi.

“Kita beruntung Siloam mau berinvestasi. Tapi tujuan kami bukan menonjolkan diri, melainkan berharap teknologi ini menular. Kalau tidak ada yang pertama, tidak akan ada yang kedua atau ketiga. Jadi mari kita mulai, supaya masyarakat tidak perlu jauh-jauh berobat ke luar negeri dengan biaya berlipat,” tuturnya.

Prof. Julius juga menekankan pentingnya berbagi ilmu.

“Ilmu itu kalau kita kasih, kita nggak usah takut kehilangan. Justru semakin banyak kita kolaborasi, semakin maju semua. Itu sebabnya kami sering melakukan workshop, hingga mendampingi tim di Yogyakarta, Aceh, dan Kupang. Harapannya, teknologi dan pengetahuan ini menyebar ke seluruh Indonesia,” jelasnya.

Meski baru sebulan digunakan di Surabaya, lanjut Prof. Julius, Brainlab Cirq sudah dipakai untuk enam pasien dewasa berusia 45–60 tahun di Siloam. Dan, kata diam hasilnya dinilai memuaskan.

“Operasi berjalan aman, hasil bagus, dan bahkan waktu operasi bisa dipersingkat hingga separuhnya. Namun yang lebih penting, presisinya meningkat. Kalau sebelumnya komplikasi operasi kami kurang dari 1 persen, dengan teknologi ini bisa ditekan lebih kecil lagi,” ungkap Prof. Julius.

Selain mempercepat operasi, teknologi ini juga diharapkan mempercepat pemulihan pasien.

“Kalau operasi berjalan tanpa komplikasi, pasien bisa lebih cepat pulih. Biasanya setelah operasi otak, pasien hanya perlu semalam di ICU, lalu 2–3 hari di ruang perawatan sebelum pulang. Dengan teknologi ini, kami berharap proses recovery akan semakin optimal,” tambahnya.

Prof. Julius juga membantah anggapan bahwa teknologi robot akan menggantikan dokter. Menurutnya, inti dari penggunaan alat adalah menyatu dengan keahlian manusia.

“Robot ini hanya alat. Pengetahuan tetap harus ada. Justru ia hadir untuk melengkapi keterbatasan manusia. Sama seperti mikroskop yang dulu menjadi perpanjangan mata kami, kini robot menjadi perpanjangan presisi kami,” ujarnya.

Bagi Prof. Julius, langkah Siloam menghadirkan Brainlab Cirq ini adalah permulaan untuk menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara lain dalam neurosains.

“Menurut saya, Tuhan itu baik. Kalau kita melakukan segala sesuatu dengan persiapan yang baik, hasilnya juga akan baik. Robot ini membantu kami untuk meminimalkan risiko dan memperbesar peluang pasien sembuh. Itu yang utama,” tutupnya.

Baca Juga: Siloam Hospitals Percepat Transformasi Digital dan Inovasi Berbasis AI dengan AWS Cloud