Sebagai kota metropolitan, Jakarta merupakan tujuan investasi dan kiblat pembangunan ekonomi di Indonesia. Ekonomi Jakarta berkontribusi sekitar 16.67% terhadap perekonomian nasional dengan jumlah penduduk 10,7 juta jiwa. Selain itu, selama semester I tahun 2024, total realisasi investasi di Jakarta sebesar USD8 miliar atau 14.5% dari total nasional; melampaui target sebesar USD4.4 miliar dengan tingkat pencapaian sebesar 181%.

Meski begitu, sejumlah permasalahan juga terus membayangi Jakarta. Kota yang akan segera melepas status sebagai Ibu Kota Indonesia itu masih dihadapkan pada masalah tata ruang kota yang disebabkan padatnya penduduk. Kemacetan dan banjir menjadi masalah klasik yang masih belum dapat diurai dengan sempurna hingga saat ini. Belum lagi permasalahan air bersih, pendidikan, sosial-budaya, dan tentunya ekonomi.

Baca Juga: Lepas Status Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta Selanjutnya?

"Sebagai kota metropolitan, hingga saat ini, Jakarta masih dihadapkan dengan permasalahan sedemikian kompleks. Selain makin padatnya jumlah penduduk, permasalahan yang dihadapi masyarakat juga makin berat, baik di bidangĀ  ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, serta bencana banjir yang selalu mengintai mereka," terang Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Hardiyanto Kenneth, pada Februari silam, dikutip Sabtu (14/9/2024).

Menyiasati makin padatnya penduduk di Jakarta, Bambang Brodjonegoro, Pakar Pembangunan Tata Ruang dan Urban, menyarankan pemerintah agar memanfaatkan 5% lahan yang tidak digunakan di Jakarta. Menurutnya, pembangunan infill adalah strategi kunci untuk regenerasi perkotaan dengan memanfaatkan lahan yang tidak digunakan atau kosong dalam jaringan perkotaan yang sudah ada, mengoptimalkan penggunaan lahan, dan mengurangi urban sprawl.

"Pembangunan infill juga membuat penggunaan infrastruktur lebih efisien dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, menjadikannya solusi yang hemat biaya dan berkelanjutan. Misal Tokyo, meskipun memiliki ruang terbatas, Tokyo telah memaksimalkan penggunaan lahan melalui proyek infill vertikal dan pengembangan mixed-use neighborhoods," jelasnya, dikutip Sabtu (14/9/2024).

Ada lima rekomendasi solusi yang ditekankan Bambang, yakni (1) Memperkuat regulasi dan insentif zonasi; (2) Mempromosikan kemitraan publik-swasta; (3) Mengadopsi desain kota berkelanjutan; (4) Membuat pengembangan penggunaan campuran yang berorientasi pada Pengembangan Berorientasi Transit (TOD); serta (5) Meningkatkan transportasi umum.

Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Perencana Wilayah dan Kota (IAP) Jakarta, Adhamaski Pangeran, menilai, Jakarta membutuhkan lebih banyak lagi kawasan pusat bisnis (central business district/CBD) untuk kantor pusat (headquarters) bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia.

"Persoalan sebenarnya adalah bagaimana meningkatkan daya saing Jakarta. Selama ini justru salah kaprah: menganggap bahwa menjadi kota global harus fokus pada penuntasan persoalan kawasan kumuh, masalah akses penyediaan air bersih yang belum merata, atau pemenuhan sarana dan prasarana infrastruktur lainnya," tegas Adhamaski dalam sebuah kesempatan, dikutip Sabtu (14/9/2024).

Jakarta harus bersaing dengan daerah di sekitarnya seperti PIK, BSD City, atau Alam Sutera yang saat ini diminati sebagai lokasi headquarters korporasi dunia, termasuk perusahaan jasa keuangan dan asuransi. Dia pun berharap UU DKJ akan membawa dampak positif terhadap peningkatan daya saing Jakarta. Akan tetapi, Adhamaski mengkritik soal kawasan aglomerasi yang diatur UU DKJ karena masih mengandalkan anggaran Jakarta.

Adhamaski pun mendukung usulan pembentukan dana abadi perkotaan (urban fund) guna meningkatkan kapasitas keuangan kawasan megapolitan seperti Jakarta dan sekitarnya.