Nama Fauzi Bowo atau yang akrab disapa Foke telah melekat dalam sejarah modern Jakarta dan Indonesia. Lahir pada 10 April 1948 di Jakarta, Fauzi Bowo adalah tokoh yang meniti karier dari birokrasi lokal hingga menjadi pejabat negara di kancah internasional.
Mulai dari menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga mengemban tugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, sosoknya telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang pemerintahan, tata kota, hingga diplomasi luar negeri.
Untuk memahami lebih dalam siapa sosok Fauzi Bowo, mari kita telusuri jejak kehidupannya dari ranah pribadi hingga perjalanan kariernya:
Kehidupan Pribadi
Fauzi Bowo lahir dari pasangan Djohari Adiputro Bowo, yang berasal dari Jawa Timur, dan Nuraini Abdul Manaf, perempuan Betawi asli. Perpaduan latar belakang Jawa-Betawi ini membentuk karakter sosialnya yang luwes, memahami berbagai budaya dan kebiasaan warga Jakarta.
Baca Juga: Mengenal Sosok Sutiyoso, Mantan Militer yang Jadi Pencetus TJ Kebanggaan Warga Jakarta
Keseharian Fauzi semasa muda dikenal disiplin, teratur, dan akrab dengan nilai-nilai kekeluargaan yang kuat. Ia tumbuh di lingkungan yang mendorong pendidikan dan keterlibatan sosial, yang kelak membentuk pijakan awalnya dalam dunia pemerintahan.
Fauzi Bowo menikah dengan Hj. Sri Hartati pada 10 April 1974, pada usia 26 tahun. Istrinya merupakan putri dari Sudjono Humardani, tokoh nasional yang dikenal luas di masa Orde Baru. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga anak, yakni Humar Ambiya, Esti Amanda, dan Dyah Namira.
Meski disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pejabat publik, Fauzi dikenal sebagai sosok ayah yang peduli dan kerap terlihat membina keharmonisan keluarga.
Baca Juga: Mengenal Sosok dan Perjalanan Karier Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi
Di luar urusan pemerintahan, Fauzi Bowo juga dikenal sebagai sosok yang menikmati musik klasik, budaya Eropa, dan seni. Kecintaannya pada budaya Barat dipengaruhi masa studi panjangnya di Jerman, yang tidak hanya membentuk pola pikir profesionalnya, tetapi juga membentuk selera dan preferensi pribadinya.
Latar Belakang dan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu pondasi terpenting dalam perjalanan hidup Fauzi Bowo. Ia menempuh pendidikan dasar di SD St. Bellarminus, sebelum kemudian melanjutkan ke Kolese Kanisius, sekolah menengah swasta prestisius di Jakarta.
Lingkungan Kanisius yang menekankan disiplin, keunggulan akademik, dan kepemimpinan, memberikan pengaruh besar pada karakter Fauzi muda. Ia tumbuh sebagai pelajar yang tekun dan memiliki minat kuat terhadap perencanaan dan tata kota sejak dini.
Baca Juga: Mengenal Sosok Mona Surya dan Perjalanan Kariernya di Industri Sawit
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, Fauzi melanjutkan studi ke Jerman Barat. Ia diterima di Technische Universität Braunschweig untuk mempelajari Arsitektur dan Perencanaan Kota dan Wilayah.
Keputusannya untuk belajar di luar negeri mencerminkan pandangan global yang telah tumbuh sejak muda. Di kampus tersebut, ia menyelesaikan studinya dengan gelar Diplom-Ingenieur pada 1976, sebuah gelar teknik setara magister yang menuntut ketekunan dan kompetensi teknis tinggi.
Tak puas dengan pencapaian akademik awalnya, Fauzi kembali ke Jerman untuk menempuh pendidikan doktoral. Ia berhasil meraih gelar Doktor-Ingenieur di bidang perencanaan dari Technische Universität Kaiserslautern pada tahun 2000.
Perjalanan Karier
Karier profesional Fauzi Bowo dimulai segera setelah ia menyelesaikan studinya di Jerman. Ia sempat menjadi asisten ahli di kampusnya, namun keinginan untuk membangun tanah air membuatnya pulang ke Indonesia. Antara tahun 1977 hingga 1984, ia menjadi dosen di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mengajar perencanaan kota dengan pendekatan praktis yang ia pelajari langsung dari Eropa. Ini menjadi awal integrasi antara dunia akademik dan dunia pemerintahan yang akan mewarnai kariernya.
Baca Juga: Mengenal Sosok dan Perjalanan Karier Soleh Ayubi, Wakil Direktur Utama Biofarma
Seiring waktu, Fauzi memilih untuk masuk ke birokrasi pemerintahan DKI Jakarta. Pada 1979, ia ditunjuk sebagai Plt. Kepala Biro Kepala Daerah DKI Jakarta, serta Kepala Dinas Pariwisata DKI.
Kedudukan ini memberi Fauzi pengalaman langsung dalam pengelolaan kota, mulai dari sektor pariwisata hingga hubungan protokoler antar institusi. Ia kemudian dipercaya menjadi Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta secara penuh dari tahun 1993 hingga 1998, menjabat dua kali dalam rentang waktu berbeda.
Puncak karier birokrasi Fauzi datang saat ia diangkat sebagai Sekretaris Daerah DKI Jakarta pada 1998, jabatan tertinggi di jajaran birokrat DKI. Saat itu Indonesia sedang memasuki era reformasi dan Jakarta menjadi pusat dinamika politik nasional.
Baca Juga: Lebih Dekat dengan Airlangga Hartarto, Sosok yang Sukses Mengintegrasikan Dunia Industri dan Politik
Fauzi menghadapi perubahan besar dalam sistem pemerintahan, termasuk tuntutan keterbukaan, efisiensi, dan desentralisasi. Pengalaman sebagai Sekda ini menjadi batu loncatan untuk menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2002, mendampingi Gubernur Sutiyoso selama satu periode penuh.
Menjadi Wakil dan Gubernur DKI Jakarta
Pada tahun 2002, Fauzi Bowo resmi menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, mengelola kota yang terus tumbuh dan menghadapi tantangan urbanisasi, banjir, serta kemacetan. Selama mendampingi Sutiyoso, ia dikenal sebagai sosok teknokrat yang fokus pada perencanaan kota, serta pembenahan birokrasi.
Perannya sebagai tangan kanan gubernur membuatnya semakin dikenal publik dan partai politik sebagai calon pemimpin masa depan Jakarta. Peluang tersebut datang pada Pilkada DKI Jakarta 2007, pemilihan gubernur pertama yang dilakukan secara langsung oleh warga.
Baca Juga: Mengenal Mendiang Ki Ageng Widyanto Suryo Buwono, Sosok Bos Bakso Lapangan Tembak
Fauzi Bowo mencalonkan diri bersama Prijanto dan berhasil memenangkan kontestasi dengan 57,87% suara, mengalahkan pasangan Adang Daradjatun–Dani Anwar. Ia resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta ke-13 pada 15 Oktober 2007, menggantikan Sutiyoso. Masa kepemimpinannya dibayangi oleh tantangan berat, terutama dalam penanganan banjir, pengelolaan transportasi, serta kebutuhan perumahan yang semakin mendesak.
Namun, masa kepemimpinannya tidak lepas dari kritik. Ia dianggap belum cukup cepat dalam menyelesaikan problem struktural kota seperti banjir dan kemacetan. Beberapa pengamat menilai pendekatannya yang teknokratik sering kali kurang menyentuh lapisan masyarakat bawah.
Ia juga sempat diterpa tuduhan korupsi dan pengeluaran dana besar untuk menggalang dukungan partai, meski hal ini tidak pernah terbukti secara hukum. Meskipun begitu, Fauzi tetap mencalonkan diri kembali di Pilkada 2012, berpasangan dengan Mayjen (Purn) Nachrowi Ramli, namun harus mengakui kekalahan dari Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama yang meraih suara signifikan.