Banyak orang tua bermimpi memberikan rumah atau mobil ketika anak-anak mereka menikah. Namun, bagi Ir. Ciputra, pendiri Ciputra Group, caranya mengekspresikan cinta kepada anak-anaknya justru sangat berbeda.
“Ada yang mengatakan bahwa bila anaknya menikah, Ciputra tidak memberi rumah atau mobil, tapi memberi proyek yang dananya berasal dari utang. Saya tertawa mendengar ini. Memang benar adanya,” tutur Ciputra, dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, sebagaimana dikutip Olenka, Selasa (15/7/2025).
Bagi Ciputra, cinta kepada anak bukanlah tentang memberi mereka segala kemudahan, melainkan membekali mereka dengan kekuatan untuk bertahan dan melangkah. Ia percaya bahwa dengan memberikan tantangan, anak-anaknya akan terpacu untuk berjuang dan menemukan cahaya mereka sendiri.
“Karena itu akan menstimulasi anak saya untuk berjuang dan kemudian mereka akan bercahaya atas usaha mereka sendiri. Cinta saya pada anak-anak saya berikan dalam bentuk latihan yang menguatkan. Bukan melemahkan,” terangnya.
Hari ini, sebagaimana kita tahu, nama Ciputra identik dengan proyek-proyek prestisius di Indonesia dan mancanegara. Kantor pusat mereka berlokasi di gedung megah Ciputra World 1, DBS Bank Tower. Namun, tak banyak yang tahu bahwa cikal bakal Ciputra Group justru lahir dari tekad sekelompok anak muda sederhana yang bermarkas di rumah contoh mungil bersekat-sekat.
“Saya amat bersemangat bercerita tentang ini karena di fase inilah saya melakukan sesuatu yang menyertakan emosi saya lebih banyak. Itu karena yang saya pimpin adalah anak-anak saya sendiri dan sejumlah anak muda yang seusia dengan mereka,” jelas Ciputra.
Pada akhir 1970-an, hidup Ir. Ciputra tampak telah mencapai puncak kesuksesan. Dua perusahaan besar yang ia pimpin, Jaya Group dan Metropolitan Development, berkembang pesat dengan deretan proyek ambisius yang menjanjikan masa depan cerah. Namun, di tengah kejayaan itu, sebuah pertanyaan penting muncul dalam benaknya, yakni ‘di mana anak-anak saya akan bekerja kelak?’.
Ciputra menyadari, meski ia memiliki perusahaan besar, masa depan anak-anaknya tak boleh sekadar menumpang nama besar sang ayah. Ia ingin mereka belajar membangun kekuatan sendiri, mandiri, dan berjuang dari bawah.
“Saya tak mau anak-anak dan cucu-cucu saya merubung perusahaan di mana di dalamnya ada pihak lain. Jauh lebih baik mereka saya latih berjuang dari bawah dan memiliki bisnis sendiri,” bebernya.
Bagi Ciputra, mendirikan Ciputra Group bukanlah tentang menambah jumlah perusahaan di bawah namanya, melainkan cara mendidik anak-anaknya tentang arti perjuangan hidup. Ia mengakui bahwa kemiskinan telah mendidiknya dengan keras sejak kecil.
“Alam kemiskinan mendidik saya dengan telak. Kerasnya cara didik alam membentuk mental saya dengan luar biasa. Waktu kecil, saya ditempeleng dan dipukul. Cari makan sendiri. Sementara itu, anak-anak saya lahir di rumah bagus dan makanan mereka melimpah,” ungkap Ciputra.