Pemerintah diminta merumuskan jalan keluar dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Memasuki Januari 2025, pergerakan nilai tukar hampir menyentuh angka Rp16.400 per dolar Amerika. Nilai tukar ini cenderung kurang ideal dibandingkan dengan target sesuai Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2025, sebesar Rp16.000/USD.
Ajib Hamdani selaku Analis Kebijakan Ekonomi Apindo mengatakan, pemerintah perlu melakukan bauran kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan ekonomi untuk mendorong penguatan nilai tukar. Dia menjelaskan, faktor eksternal yang memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah terutama disebabkan pergantian kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan fokus dengan penguatan ekonomi domestik Amerika, termasuk kemungkinan pengurangan pajak perusahaan Amerika, peningkatan investasi domestik, dan juga potensi kenaikan tarif barang impor ke Amerika.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Butuh Strategi Baru Genjot Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
"Hal ini bisa memengaruhi meraca dagang Indonesia-Amerika yang pada tahun 2024 Indonesia mengalami surplus lebih dari US$11 miliar," tegasnya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (22/1/2025).
Sementara itu, faktor internal atau faktor ekonomi domestik, menurutnya, juga memberikan dampak terhadap pelemahan nilai rupiah. Pertama, program jangka panjang transformasi ekonomi yang mendorong hilirisasi, dalam jangka pendek akan memberikan konstraksi ekspor bahan baku mentah. Kedua, faktor keuangan negara di mana tahun 2025 jatuh tempo utang mencapai lebih dari Rp800 triliun. Hal ini akan memberikan tekanan terhadap kebijakan fiskal yang akan kembali defisit.
"Pelemahan nilai tukar rupiah ini akan memberikan imbas terhadap sektor privat maupun terhadap keuangan negara. Di sektor privat, hal ini akan berpengaruh terhadap barang-barang dan bahan baku impor. Potensi kenaikan harga ini akan memberikan dampak mengeskalasi inflasi dan pengurangan daya beli masyarakat. Sementara, keuangan negara akan mengalami tekanan karena sebagian utang dalam bentuk mata uang asing sehingga akan diperlukan penyesuaian atau koreksi atas utang dan bunga yang jatuh tempo," jelasnya.
Langkah yang Perlu Diambil
Menurut Ajib, untuk kebijakan fiskal, idealnya pemerintah perlu menekan defisit, terutama dengan efisiensi belanja dan prioritas program yang memberikan daya ungkit ekonomi. Akan tetapi, ruang fiskal pemerintah memang begitu terbatas dan sempit akibat scaring effect pandemi. Oleh karena itu, pemerintah diminta menerapkan filosofi spending better, bukan better spending sehingga belanja fiskal menjadi lebih berkualitas.
"Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) mengalami kondisi yang dilematis. Untuk penguatan nilai tukar, secara teoritik, BI seharusnya meningkatkan suku bunga acuan agar terjadi capital inflow dan banyak uang asing masuk ke perekonomian Indonesia. Namun, BI lebih memilih mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan. Ini memperlihatkan bahwa BI lebih memilih untuk fokus dengan penguatan ekonomi dalam negeri dan menjaga daya beli masyarakat karena penurunan tingkat suku bunga acuan ini akan mengurangi cost of fund pendanaan dalam negeri dan juga mendorong komsumsi lebih bergairah," ujarnya.
Yang ketiga, pemerintah diminta fokus dengan kebijakan ekonomi pro dengan penguatan nilai tukar rupiah. Kerja sama bilateral perlu diperkuat dan mengoptimalkan transaksi dengan mata uang lokal. Selain itu, kerja sama dengan negara-negara yang tergabung di BRICS menjadi peluang, selain akses perluasan pasar, juga untuk mendatangkan investasi.
"Pemerintah mempunyai target yang ambisius dengan mendatangkan investasi tidak kurang dari Rp13 ribu triliun dalam waktu 5 tahun ke depan. Hal ini harus diiringi dengan kerja sama-kerja sama yang terbangun dengan negara-negara lain yang mempunyai visi ekonomi yang sama," ungkap Ajib.
Kebijakan selanjutnya ialah terkait penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang berlaku mulai 1 Maret 2025 dengan masa retensi menjadi 1 tahun. Agar tidak mengalami konstraksi ekonomi dan kontraproduktif terhadap investasi, pemerintah perlu mengimbanginya dengan insentif yang tepat dan mengakomodasi masukan dari seluruh stakeholder.
"Jika pemerintah bisa fokus pada bauran kebijakan-kebijakan yang pro dengan ekonomi dalam negeri, dan membuat kebijakan jalan tengah yang tepat sasaran, sangat mungkin rupiah akan mengalami penguatan, dalam jangka menengah sampai akhir tahun 2025," pungkasnya.