Standar integritas perusahaan di seluruh dunia tampak meningkat–didukung oleh panduan yang lebih baik dari manajemen dan peraturan yang lebih mengikat. Namun, adanya tekanan internal dan eksternal yang signifikan terhadap perilaku karyawan tetap kuat menurut laporan EY 2024 Global Integrity: How can trust survive without integrity?.

Survei ini mengkaji pandangan 5.464 karyawan dan anggota dewan di 53 negara. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah responden (49%) percaya bahwa standar integritas dalam organisasi mereka telah meningkat selama dua tahun terakhir; dan mayoritas (90%) yakin rekan kerja mereka mematuhi undang-undang, kode etik, dan peraturan industri yang relevan.

Baca Juga: Dorong Pertumbuhan Global, NTT DATA Tunjuk Abhijit Dubey sebagai CEO

Pendorong utama tren ini mencakup adanya peningkatan arahan dari manajemen (61%); peraturan yang lebih ketat dan tekanan dari regulator dan penegak hukum (48%); permintaan dari pelanggan (37%), masyarakat umum (33%), dan pemegang saham (26%); dan tekanan dari karyawan (22%).

Menguatkan Integritas Perusahaan: Perubahan Peraturan di Indonesia, Tantangan, dan Arah Masa Depan

Laporan EY Global Integrity mengungkapkan bahwa dari 100 responden Indonesia yang berpartisipasi dalam survei ini, 76% percaya bahwa kepatuhan terhadap standar integritas organisasi telah meningkat selama dua tahun terakhir, terutama karena arahan manajemen yang kuat (84%) dan peraturan yang lebih ketat (70%). Indonesia berada di peringkat kedua secara global dalam hal mengakui adanya tekanan peraturan.

Harapan karyawan terhadap perilaku manajemen telah meningkat secara signifikan (81%), dan meskipun 69% merasa aman melaporkan kesalahan mereka, 44% mengakui bahwa beberapa manajer mungkin mengorbankan integritas demi keuntungan jangka pendek. Meskipun ada kemajuan positif, mempertahankan standar integritas masih merupakan tantangan di tengah tekanan peraturan dan kondisi pasar.

Stevanus Alexander Sianturi, EY Indonesia Forensics Partner menyatakan bahwa mengelola risiko pihak ketiga sangatlah penting karena organisasi sering berinteraksi dengan mitra bisnis, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Strategi yang tepat, termasuk uji tuntas menyeluruh dan pemantauan rutin, sangat penting dalam memitigasi risiko ini dan memastikan kepatuhan.

"Kami mengapresiasi berbagai inisiatif yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah di Indonesia seperti pertanggungjawaban pidana korporasi melalui Perma 13/2016 yang kini dimasukkan sebagai klausul khusus dalam KUHP baru, yang berlaku efektif mulai 2 Januari 2026. Integrasi yang terjadi antara industri badan pengatur dan penegak hukum akan sangat penting untuk mendorong penerapan tanggung jawab pidana korporasi sebagai norma bisnis baru," jelasnya, dikutip Kamis (20/6/2024).

Komunikasi yang efektif dari manajemen senior, yang disebut oleh 92% responden sebagai yang tertinggi di antara pasar yang disurvei, sangat penting dalam mendorong budaya integritas dan perilaku etis. Hal ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata dan pernyataan; tindakan yang dapat dibuktikan diperlukan untuk memperkuat nilai-nilai ini.

Tekanan Terhadap Standar Integritas

Meskipun terdapat perbaikan, separuh responden (50%) mengakui bahwa mempertahankan standar integritas dalam kondisi pasar yang sulit merupakan tantangan bagi organisasi mereka. Hampir sepertiga (30%) mengatakan bahwa lingkungan ekonomi makro saat ini memberikan tekanan eksternal terbesar terhadap karyawan untuk melanggar standar integritas; dan lebih dari seperempat (28%) mengatakan ancaman internal terbesar datang dari karyawan yang tidak memahami peraturan yang mengatur perilaku.

Tekanan eksternal lainnya menurut responden mencakup ancaman dunia maya (26%), krisis terkait kesehatan (22%), ekspektasi kinerja keuangan (22%), gangguan rantai pasokan (21%) dan ancaman geopolitik (15%). Faktor internal yang disebutkan berkisar dari tingginya pergantian karyawan (26%) dan kurangnya sumber daya (25%) hingga tekanan dari manajemen (24%) dan kegagalan proses atau pengendalian finansial (20%).

Survei ini juga menunjukkan bahwa pihak ketiga terlibat dalam lebih dari dua pertiga (68%) pelanggaran kepatuhan yang signifikan dan penipuan besar-besaran.

Baca Juga: 4 Cara Efektif Menghadapi Politik Kantor Tanpa Terseret ke Dalamnya

Kesenjangan Komunikasi

Survei ini menyoroti kesenjangan yang signifikan dalam mengomunikasikan pentingnya bertindak dengan integritas. Lebih dari separuh anggota dewan direksi (56%) dan manajemen senior (53%) mengatakan bahwa mereka sering mendengar kepemimpinan menekankan pentingnya perilaku etis, tetapi jumlah ini turun menjadi hanya sepertiga (33%) untuk karyawan di tingkat yang lebih junior.

Standar integritas yang tinggi merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi di tingkat global–salah satunya karena standar ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingkat kepercayaan terhadap perusahaan. Namun, standar ini hanya dapat ditegakkan jika manajemen senior mematuhinya; memimpin berdasarkan contoh; dan mengomunikasikan kepentingannya secara efektif.

Berbagai Macam Standar Integritas

Survei ini juga menyoroti persepsi umum bahwa standar integritas di seluruh organisasi dapat bervariasi tergantung pada pangkatnya, dan karyawan senior sering kali diberikan keringanan hukuman yang lebih besar. Hampir sepertiga responden (31%) mengatakan bahwa perilaku tidak etis dapat ditoleransi jika yang terlibat adalah karyawan yang lebih senior.

Laporan ini juga menemukan bahwa anggota dewan direksi lebih besar kemungkinannya memiliki kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran yang tidak mereka laporkan melalui saluran pelaporan pelanggaran (43% dibandingkan dengan 19% anggota karyawan junior).

Menciptakan Budaya Speak-Up yang Efektif

Survei tersebut menunjukkan bahwa organisasi perlu melakukan lebih banyak hal untuk menciptakan budaya speak-up yang aman bagi karyawan yang mengidentifikasi adanya kesalahan. Meskipun jumlah organisasi yang tidak memiliki hotline pelaporan pelanggaran telah berkurang setengah sejak tahun 2022, lebih dari separuh responden (54%) yang telah menggunakan hotline pelaporan pelanggaran mengatakan bahwa mereka menghadapi tekanan untuk tidak melakukan hal tersebut.

"Pemberlakuan undang-undang perlindungan pelapor; kemajuan teknologi komunikasi; dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya melaporkan pelanggaran berarti bahwa organisasi kini memiliki sarana yang lebih baik untuk mendukung karyawan yang perlu menyuarakan keprihatinan. Namun, perusahaan harus berusaha menciptakan budaya speak-up yang dapat diterapkan dalam praktik–bukan hanya dalam teori. Setiap individu harus dibuat merasa aman, dan mereka juga harus tahu bahwa kekhawatiran mereka akan ditindaklanjuti, tanpa konsekuensi apa pun," tegas Andrew Gordon, EY Global Forensic & Integrity Services Leader.