Guru Besar UI, Prof. Rhenald Kasali turut berkomentar terkait penerapan kebijakan Menteri Perdagangan Zulkifil Hasan terkait Bea Masuk anti-dumping 200%.
Ia menilai bahwa upaya sekelompok pengusaha “menekan” Mendag agar menerapkan kebijakan tersebut dapat memicu perang dagang yang kompleks. Alih-alih mengatasi PHK, malah akan menimbulkan PHK yang lebih besar melalui kenaikan harga di dalam negeri.
“Donald Trump saja sangat berhati-hati. Kalau terpilih lagi, Trump berjanji akan mengenakan tarif 10% pada semua barang dari China. Trump sudah belajar, ketika dia kenakan hambatan masuk semasa pemerintahannya, malah terjadi inflasi. Segala produk manufaktur mulai dari handuk, masker kesehatan, keramik, sanitasi sampai pakaian anak-anak menghilang dari supermarket saat Trump mengeksekusi BMAD tahun 2019. Rakyatnya marah besar,” ujar Prof Rhenald Kasali.
”Amerika menjadi bulan-bulanan dunia karena banyak negara sudah bisa buat barang yang murah. Sedangkan negara-negara yang tidak efisien melayani kepentingan kelompok proteksionis dan mengakibatkan harga barang yang sama harus dibayar rakyatnya dua kali lipat,” lanjutnya.
Baca Juga: Cerita Rhenald Kasali: Semangat Mengejar Pendidikan Walau Terhimpit Berbagai Persoalan
Dikabarkan Mendag Zulkifli Hasan sedang menimbang-nimbang usulan Komite anti-dumping agar mengenakan tarif Bea Masuk anti-dumping (BMAD) sebesar 200% pada 7 kategori industri. Kalau ini jadi dijalankan, pendiri Rumah Perubahan ini mengingatkan, tak tertutup kemungkinan akan memicu PHK baru, kenaikan harga-harga, dan menghambat pertumbuhan.
Tekstil Paling Terganggu, Keramik Dompleng
Dikabarkan 21 pabrik tekstil tutup, ribuan pekerja terkena PHK, 31 lainnya menyusul. Sebabnya banjir impor ilegal. Mengikuti langkah industri tekstil, asosiasi kosmetik, alat elektronik dan keramik ikut minta perlindungan.
“Masing-masing beda case,” ujar Prof Rhenald.
Ia mempertanyakan mengapa asosiasi hanya bicara dumping dan pabriknya? "Asosiasi harus lebih cerdas dan strategis. Yang berantakan dan merusak mereka adalah struktur industri, keberadaan bahan baku dan penolong yang tidak didukung pemerintah, Bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan permesinan terlalu tinggi, mahalnya biaya modal, harga gas dan energi yang kalah dengan negara lain,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, di Tekstil kasusnya jelas, namun di industri keramik, data-data yang diajukan asosiasi perlu diverifikasi kembali karena banyak yang tak sesuai dengan kenyataan lapangan.
Baca Juga: Rhenald Kasali Bantah Stigma Miring Gen Z yang Dicap Tak Bisa Bekerja
”Negeri ini apa-apa selalu cari jalan pintas. Seakan-akan tarif anti-dumping ratusan persen solusi terbaik,” ujarnya di Depok. “Padahal ini bisa memicu pembalasan pada kategori industri lain yang menjadi komoditas ekspor Indonesia,” tambahnya, “benar, tekstil kita terpukul. Elektronik dan keramik harus bangun industri dan pemerintah wajib kasih insentif yang menarik.”
Ia mencontohkan, keramik lokal (yang disebut red body-HS Code 6907.23) sulit disaingi barang impor kendati ada persaingan barang China. Sebabnya, Indonesia penghasil tanah liat yang kaya. Jadi keramik red body Indonesia kalau diberi insentif akan semakin bagus. Sedangkan China fokus pada keramik Porselen (HS code 6907.21) karena dibuat dari Kaolin yang berlimpah di negara mereka dan untuk pasar gen z menengah ke atas.
“Persaingan dan marketnya berbeda. Yang mau diproteksi yang mana? Tujuannya proteksi apa? Apakah hanya ingin ikut perang dagang?” tutupnya di kampus UI Depok.